Kamis, 12 Agustus 2010

MEMBANGUN BISNIS BERSKALA KECIL YANG BERETIKA (Perspektif Hukum Bisnis dan Etika)


Jurnal Hukum ARGUMENTUM Vol. 9 No. 2, Juni 2010
ISSN: 1412-1751



MEMBANGUN BISNIS BERSKALA KECIL YANG BERETIKA (Perspektif Hukum Bisnis dan Etika)
Oleh: Henny Purwanti*

ABSTRAK
Membangun bisnis – termasuk bisinis berskala kecil – yang sukses harus didukung dengan budaya kinerja organisasi yang beretika. Sebab, budaya organisasi yang mendukung kinerja yang beretika merupakan kunci untuk mencapai perilaku beretika di antara karyawan perusahaan tentang bagaimana mereka berperilaku. Oleh karena itu, setiap perusahaan berskala kecilpun seharusnya mengembangkan kode etik dan mempromosikan tingkah laku beretika di seluruh komunitas ekonominya.
Kata kunci: Membangun Bisnis Berskala Kecil, Budaya Organisasi, Etika.

PENDAHULUAN
             Pembangunan ekonomi dengan hukum mempunyai hubungan timbal balik dan erat. Bahkan Sunarjati Hartono menyatakan: ”... pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang  bersangkutan, maka penegakkan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan” (Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, 2004: 24).
 Ismail Saleh menyatakan: ”Memang benar ekonomi merupakan tulang punggung  kesejahteraan masyarakat, dan memang benar bahwa ilmu pengetahuan  dan teknologi adalah tiang-tiang penopang kemajuan suatu bangsa, namun  tidak dapat disangkal  bahwa hukum merupakan  pranata yang pada  akhirnya  menentukan bagaimana  kesejahteraan yang dicapai  tersebut dapat dinikmati secara merata, bagaimana keadilan sosial dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat, dan bagaimana  kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa kebahagiaan bagi rakyat banyak” (Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, 2004: 24).
Hukum diciptakan untuk menjamin keadilan dan kepastian, serta diharapkan dapat berperan untuk menjamin ketentraman warga masyarakat  dalam mewujudkan tujuan-tujuan hidupnya. Salah satu aspek terpenting dalam upaya mempertahankan eksistensi manusia dalam masyarakat adalah membangun sistem perekonomian yang dapat mendukung upaya mewujudkan tujuan hidup itu.
Sistem perekonomian yang sehat seringkali bergantung  pada sistem perdagangan  yang sehat, sehingga masyarakat  membutuhkan seperangkat aturan hukum yang dengan pasti dapat diberlakukan untuk menjamin terjalinnya sistem perdagangan tersebut. Aturan hukum itu dibutuhkan karena:
a)       pihak-pihak yang terlibat dalam persetujuan bisnis itu membutuhkan sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar janji serta itikad baik saja;
b)       adanya kebutuhan untuk menciptakan upaya-upaya hukum yang dapat digunakan seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya tidak memenuhi janjinya.
Oleh karenanya dapat dikatakan pula bahwa: ”Hukum bisnis adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum yang diadakan untuk mengatur serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam aktivitas antar manusia khususnya dalam bidang perdagangan” (Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, 2004: 24).
Ditinjau dari aspek hukum perdata tindakan merger, konsolidasi dan akuisisi di atur dalam UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang di antaranya mengatur bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli/persaingan usaha tidak sehat (Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 6 No.1, Des. 2006: 49).
Perdagangan sebagai sektor informal diharapkan  menjadi lapangan alternatif, maka beberapa hal perlu diperhatikan. Diperlukan adanya perubahan sikap dan persepsi yang menyadari dua alasan utama yang menjadi sebab munculnya   sektor informal di Indonesia. Pertama, karena merupakan suatu proses menuju kematangan pelaku ekonomi yang berusaha  dalam sektor tersebut namun belum terjangkau atau  belum memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, karena sektor informal lahir  sebagai alternatif strategi kebijaksanaan  pemerintah.
Kedua alasan tersebut mempunyai implikasi kebijaksanaan yang berbeda. Keberadaan sektor informal dengan latar belakang pertama merupakan perkembangan yang telah  sesuai dengan keberadaan  sektor formal yang ada di negara yang sudah maju pada umumnya. Munculnya sektor informal, dalam arti sektor yang masih dalam proses pembangunan itu, disebabkan oleh skala usahanya masih kecil dan bersifat usaha keluarga, karenanya belum terdaftar sebagai bentuk usaha formal, tetapi ada kemungkinan untuk berkembang dalam memenuhi kualifikasi dan kriteria formal (Benny Sembodo, 1997: 36).
Sebuah tanggung jawab pemasaran yang utama adalah mentransformasikan sebuah produk utama menjadi penawaran produk secara  total. Penawaran produk secara total harus lebih dari bahan mentah. Untuk bisa segera dipasarkan, produk dasar harus diberi nama, memiliki kemasan, mungkin sebuah jaminan dan didukung oleh komponen produk yang lain.

PENGERTIAN BISNIS
 Richard Burton Simatupang menyatakan bahwa secara luas kata ”bisnis” sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus-menerus, yaitu berupa kegiatan  mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, diperuntukkan atau disewakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
             Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa: ”Business: Employment, occupation, profession, or commercial activity engaged in for gain or livelihood. Activity or enterprise for gain, benefit, advantage or livelihood; ….” (Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu 2004: 25).
Gambaran mengenai kegiatan bisnis dalam definisi tersebut  apabila diuraikan lebih lanjut akan tampak sebagai berikut:
1)       bisnis merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan, karena dikata-kan sebagai suatu pekerjaan, mata pencaharian, bahkan suatu profesi
2)       bisnis merupakan aktivitas dalam perdagangan;
3)       bbbisnis dilakukan dalam rangka  memperoleh keuntungan;
4)       bisnis dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat serta kompleks melahirkan  berbagai bentuk kerjasama bisnis. Kerjasama bisnis  yang terjadi sangat  beranekaragam tergantung pada bidang bisnis apa yang sedang dijalankan. Keanekaragaman kerjasama bisnis ini tentu saja melahirkan masalah  serta tantangan baru, karena hukum harus siap  untuk dapat mengantisipasi  setiap perkembangan yang muncul.

NILAI-NILAI ETIKA DALAM BISNIS
            Etik atau etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan atau adat, sedangkan yang kedua berasal dari Yunani pula yaitu ethikos yang artinya perasaan batin atau kecenderungan batin yang mendorong manusia dalam perilakunya.
            Veronica Komalawati dalam bukunya Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan etika adalah pedoman, patokan, ukuran untuk menilai perilaku manusia yang baik atau buruk yang berlaku secara umum dalam kehidupan  bersama.
Etika mempunyai nilai yang mendalam dan meresap ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia, serta  menguasai seluruh kehidupan manusia  yang paling hakiki. Etika lahir dari konsensus dan kekuatan berlakunya turun –temurun, apabila terjadi pelanggaran maka sanksinya bersifat moral psikologis yaitu dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
Etiket adalah tata krama, atau sopan santun, membahas apa yang sopan dan pantas. Etika adalah pembahasan tentang suatu perilaku  berdasarkan kaidah benar-salah, baik-buruk, tepat-tidak, yang berangkat dari suatu standar penilaian tertentu yang dianggap ideal dan luhur.
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai terkandung  dalam ajaran berbentuk  petuah, nasehat, wejangan, peraturan, perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau  kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara  baik agar  ia benar-benar menjadi  manusia yang baik. Moralitas adalah tradisi kepercayaan dalam  agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang  bagaimana ia harus  hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai  manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.
Jika moralitas adalah  petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana seharusnya manusia hidup, meka etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap dipakai. Akan tetapi, keduanya  mempunyai fungsi  yang sama yaitu memberi orientasi bagaimana dan ke mana harus melangkah dalam hidup ini.
Etika dalam kaitannya dengan nilai dan norma dapat dibagi menjadi :
1)       etika deskriptif, memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku  atau sikap yang mau diambil
2)       etika normatif, memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Norma dalam kehidupan berfungsi memberikan pedoman bagaimana manusia harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat, juga sebagai dasar penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakannya. Secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam norma, sebagai berikut: norma khusus, yaitu aturan yang berlaku dalam  bidang kegiatan atau kegiatan yang khusus misalnya aturan mengenai cara peminjaman gedung olah raga; dan norma umum yaitu aturan yang berlaku umum dan universal. Norma umum dibagi dalam:
1)       Norma sopan santun, yakni norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah, misalnya tata cara bertamu
2)       Norma hukum, yakni norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.
3)       Norma moral, yakni aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia, mengacu  pada baik buruknya manusia sebagai manusia.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum dan khusus. Etika umum berbicara mengenai:
a)       kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak  secara etis;
b)       bagaimana manusia mengambil keputusan etis;
c)       teori-teori etika; dan
d)       prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi  manusia dalam bertindak;
e)       tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan  (Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu 2004: 30).
Dengan demikian, etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan yang membahas mengenai  pengertian umum dan teori-teori. Sedangkan etika bisnis menyangkut penerapan prinsip-prinsip etika dalam dunia bisnis, atau secara lebih konkrit lagi penerapan prinsip-prinsip etika dalam keputusan  dan tindakan bisnis  seseorang.

KONTRIBUSI ETIKA DALAM BERBISNIS
             Ada beberapa argumen yang menyatakan bahwa pada dasarnya  di dalam menjalankan kegiatan bisnis diperlukan etika, yaitu:
a)       Bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan  perlu mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi, kalau tidak  akan mengorbankan  hidup banyak orang, sehingga masyarakat  pun berkepentingan agar bisnis dilaksanakan secara etis;
b)       Bisnis dilakukan  di antara manusia  yang satu dengan manusia yang lainnya, sehingga membutuhkan etika sebagai pedoman  dan erientasi bagi keputusan, kegiatan, dan tindak tanduk manusia dalam  berhubungan (bisnis) satu dengan yang lainnya;
c)       Bisnis  saat ini dilakukan dalam persaingan yang sangat  ketat. Orang bisnis yang bersaing dengan tetap  memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang semakin profesional justru akan menang;
d)       Legalitas dan moralitas berkaitan akan tetapi berbeda satu dengan lainnya, karena suatu kegiatan yang diterima secara legal, belum tentu dapat diterima secara etis;
e)       Etika harus dibedakan  dari ilmu empiris, yang mendasarkan pada suatu gejala atau fakta berulang terus-menerus dan terjadi di mana-mana akan melahirkan  suatu hukum ilmish yang berlaku universal;
f)        Situasi khusus yang menyebabkan pengecualian  terhadap etika tidak dapat dijadikan  alasan untuk menilai bahwa bisnis tidak mengenal etika;
g)       Aksi protes yang terjadi di mana-mana menunjukkan bahwa masih banyak orang serta kelompok masyarakat yang menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan mengindahkan norma etika (Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu 2004: 30).

PRINSIP-PRINSIP DAN PERANAN ETIKA DALAM BISNIS
Ada  beberapa prinsip dan peranan etika yang harus diperhatikan  dalam bisnis yaitu:
a)       Prinsip-prinsip Etika
Etika khusus atau etika terapan, dalam penerapannya memiliki beberapa prinsip:
1)        Prinsip otonomi, yakni sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasar-kan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan;
2)        Prinsip kejujuran;
3)        Prinsip tidak berbuat jahat dan prinsip berbuat baik;
4)        Perinsip keadilan;
5)        Prinsip hormat kepada diri sindiri
b)       Peranan Etika Dalam Bisnis
Richard De George menyatakan bahwa perusahaan yang ingin  mencatat sukses dalam bisnis membutuhkan  tiga hal pokok , yaitu: produk yang baik, menejemen yang mulus, dan etika. Produk yang baik dan manajemen yang mulus  merupakan hal yang dapat dicapai  dengan memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern, serta memakai ilmu ekonomi dan teori manajemen, sedangkan perhatian terhadap etika  dalam bisnis  masih minim  atau dapat dikatakan kurang mendapatkan perhatian serius.
Bisnis tidak melulu berurusan dengan naiknya angka  penjualan, terdapatnya keuntungan yang cukup signifikan  namun juga  tidak terlepas dari  segi-segi moral. Bisnis harus berlaku etis didasarkan pada:
1)       Tuhan adalah hakim manusia;
2)       Kontrak sosial, hidup dalam masyarakat  berarti mengikat diri  untuk berpegang pada nilai-nilai  moral yang berlaku  dalam masyarakat  yang telah disepakati bersama, oleh karena itu moralitas mengikat serta mempersatukan  orang bisnis. Moralitas  merupakan syarat mutlak yang harus diakui  oleh semua orang jika ingin terjun dalam kegiatan bisnis;
3)       Keutamaan, merupakan penyempurnaan tertinggi dari  kodrat manusia . orang bisnis yang berterminologi modern harus mempunyai integritas (Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu 2004: 36).
Pernyataan yang menyatakan bahwa tidak perlunya nilai etis  dalam menjalankan bisnis saat ini sudah mulai ditinggalkan, karena para pelaku  bisnis  saat ini menyadari bahwa untuk tetap  mempertahankan kegiatan bisnisnya  maka terdapat semboyan baru seperti: Ethics pay, Good business is ethical business, Corporate ethics: a prime business asset. Akan tetapi, tidak berarti bahwa etika  adalah segalanya, dan dengan menjunjung  tinggi nilai etika maka bisnis akan berjalan dengan lancar.
Suatu hal yang perlu diperhatikan  agar kegiatan bisnis  berjalan baik, yakni:
1)       Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral, tidak merupakan komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka sosial;
2)       Etika bisnis menjamin bergulirnya kegiatan bisnis dalam jangka panjang, tidak terfokus pada keuntungan jangka pendek saja;
3)       Etika bisnis akan meningkatkan kepuasan pegawai yang merupakan stake holders yang penting untuk diperhatikan;
4)       Etika bisnis membawa pelaku bisnis untuk masuk dalam bisnis internasional.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa  apabila seseorang terjun  sebagai pelaku bisnis pada zaman modern ini harus memperhatikan serta menjunjung tinggi nilai etis agar dapat bertahan.

JENIS-JENIS MASALAH ETIKA DAN KERENTANAN PERUSAHAAN KECIL
a)       Jenis-jenis Masalah Etika
Masalah etika melibatkan pertanyaan baik dan salah. Pertanyaan seperti itu berada di luar apa yang disebut sah atau tidak sah. Banyak situasi memerlukan keputusan mengenai apa yang jujur, adil, dan dihormati.
Dengan tujuan untuk menunjukkan dengan tepat jenis masalah etika  yang paling menyusahkan  bagi para pemilik bisnis berskala kecil, para pemilik perusahaan  di seluruh negara diberi pertanyaan sebagai berikut:”apakah masalah etika  paling sulit yang anda hadapi di dalam pekerjaan anda?” seperti yang mungkin diduga , pertanyaan tersebut  menghasilkan berbagai jenis tanggapan yang telah dikelompokkan ke dalam  kategori yang diperlihatkan pada tabel di bawah ini, jumlah total masalah etika yang diberikan oleh para responden sebesar 166; jumlah responden dalam tiap kategori ditunjukkan juga.
Tanggapan-tanggapan di bawah ini memberikan ide dasar mengenai keanekaragaman masalah etika yang luas yang dihadapi oleh para pemilik bisnis berskala kecil.  
Tabel 1. Masalah Etika yang Sulit Dihadapi  Perusahaan Kecil
Masalah
Jumlah responden
Tanggapan
Hubungan dengan para konsumen, klien, dan pesaing (hubungan dengan pihak luar di pasaran)


Hubungan dan proses manajemen (hubungan atasan-bawahan)



Kewajiban karyawan kepada atasan (tindakan dan tanggung jawab karyawan yang dalam beberapa hal bertentang an dengan kepentingan terbaik atasan).


Hubungan dengan para penyalur (praktek dan penipuan yang cenderung menggelapkan uang penyalur)



Hubungan dan kewajiban pemerintah (kesesuaian dengan persyaratan pemerintah dan melaporkan pada wakil pemerintah)


Keputusan sumber daya manusia (keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan dan promosi)



Tanggung jawab sosial dan lingkungan (kewajiban bisnis terhadap lingkungan dan masyarakat).

56




30




26



18




17




14




5


”Menghindari perbedaan kepentingan ketika mewakili  klien dalam bidang yang sama”.
”Meletakkan bagian yang lama di dalam alat baru dan menjualnya sebagai alat baru”.
”Menipu para konsumen mengenai hasil tes”.

”Melaporkan pada seseorang yang tidak beretika”.
”Harus mendukung kebohongan  pemilik/CEO mengenai kemampuan bisnis dengan tujuan untuk memenagkan tugas dan kemudian berbohong  lebih banyak untuk  menyelesaikan pekerjaan tersebut”.

”Menerima pembayaran kembali  dengan memberikan kontrak di atas harga atau  mengambil persenan  untuk memberikan kontrakpada seorang kontraktor eceran”.
”Mencuri aktiva korporasi”.
”Menyuruh orang untuk melakukan  pekerjaan seharian penuh”.

”Para vendor menginginkan kesempatan kedua untuk tawar-menawar jika penawaran mereka di luar batas”.
”Masalah hak cipta software”.
”Pemesanan Supplies ketika arus kas rendah dan mungkin terjadi kebangkrutan”.

”Harus berurusan dengan hukum yang disebut sangat anti  diskriminasi yang  pada kenyata-annya memaksa pelaku untuk  mendiskrimi-nasikan”.
”Membengkokkan peraturan negara bagian”.
”Mempergunakan orang-orang yang mungkin  warga negaranya tidak sah untuk bekerja”.

”Apakah memberhentikan para pekerja yang melebihi kebutuhan  pengusaha dan akan memiliki pekerjaan yang bermasalah atau secara  mendalam memotong gaji dan kemewahan eksekutif”.
”Pelecehan seksual”.
”Mencoba untuk menilai para karyawan berdasarkan  kinerja dan bukan kepribadiannya”.

”Apakah membayar untuk membuang bahan-bahan kimia tersebut ke dalam sebuah tempat sampah”.
”Keamanan lingkungan versus biaya untuk mencegah kecelakaan”.
”Aspek lingkungan dalam pabrik”.



Sumber: Justin Longenecker, Joseph A. Mc Kinney, dan Carlos W. Moore,”Ethical Attitudes, Issues, and Pressures in Small Business”, Makalah yang disajikan pada International Council for Small Business Conference, Sydney, Australia, Juni 1995
Masalah etika manajemen, salah satu contoh yang mencolok tentang perilaku perusahaan kecil yang tidak beretika  yaitu pelaporan pendapatan  dan pengeluaran yang curang untuk tujuan pajak pendapatan. Perilaku ini meliputi skimming – yaitu: penyembunyian beberapa pendapatan – seperti mengklaim secara tidak tepat pengeluaran pribadi sebagai pengeluaran bisnis. Dari sini bukan berarti berniat untuk  menyatakan secara tidak langsung bahwa semua atau bahkan  sebagian besar perusahaan kecil ikut serta dalam praktek–praktek seperti itu. Bagaimanapun juga, pengelakkan pajak memang terjadi di dalam perusahaan kecil, dan praktik-praktik  tersebut cukup tersebar luas untuk diakui sebagai permasalahan umum.
Berbuat curang pada pajak merupakan salah satu jenis praktik bisnis yang tidak beretika.  Pertanyaan benar atau salah menembus  semua bidang pembuatan keputusan bisnis. Memahami lingkup permasalahn meminta pengertian cara-cara yang menjadikan  masalah etika mempengaruhi keputusan dalam pemasaran, manajemen, dan keuangan.
Ketika membuat keputusan pemasaran, seorang pemilik bisnis  dihadapkan pada berbagai pertanyaan etika. Sebagai contoh, isi periklanan harus menjual barang atau jasa, tapi juga  mengatakan “kebenaran”, kebenaran yang  menyeluruh dan hanya kebenaran. ”Armada penjualan harus berjalan di garis yang benar antara penipuan dan bujukan. Dalam beberapa jenis bisnis berskala kecil, seorang penjual mungkin memperoleh kontrak lebih mudah dengan  menawarkan bujukan yang tidak tepat pada para pembeli atau dengan bergabung dengan para pesaing dalam menggunakan tawaran.
Kualitas etika manajemen dalam sebuah perusahaan direfleksikan  dalam rasa hormat atau kurangnya rasa hormat yang diberikan pada para karyawan. Melalui keputusan manajemen , seorang pemilik mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga karyawan. Masalah keadilan, kejujuran, dan kenetralan muncul dalam keputusan dan praktik yang berkaitan dengan penyewaan, promosi, peningkatan gaji, pemecatan,  pemberhenti-an, dan penugasan pekerjaan. Memperlihatkan rasa hormat yang tepat pada para bawahan sebagai makhluk hidup dan anggota tim yang berharga merupakan unsur yang penting dari manajemen etika yang kuat.
Dalam melaporkan informasi keuangan, seorang pemilik harus memutuskan tingkatan dia akan bersikap jujur dan tulus. Pemilik sebaiknya mengakui bahwa  pihak luar perusahaan seperti para bankir, investor, dan penyalur tergantung pada laporan keuangan perusahaan yang tepat. Masalah pencurian dan penggelapan yang dilakukan karyawan dengan meminta jutaan dolar pada para majikan tiap tahun, serta produk yang dicuri meliputi barang dagangan, peralatan, dan perlengkapan majikan dll.  
Para karyawan perusahaan kecil  kadang menghadapi tekanan  dari berbagai sumber  untuk bertindak dalam cara yang bertentangan dengan perasaan mereka sendiri tentang apa yang salah dan benar. Sebagai contoh: seorang penjual mungkin merasakan ditekan  untuk membahayakan standar etika pribadi dengan tujuan untuk melakukan sebuah penjualan. Situasi seperti itu dijamin menghasilkan  budaya organisasi yang lunak terhadap etika.
Majalah Inc. melakukan survei pada para pekerja mengenai perilaku  yang dapat dipertanyakan yang berhubungan pada penggunaan teknologi baru, 45 % responden mengakui satu atau lebih tindakan yang tidak beretika. Dapat dilihat  dalam Tabel di bawah ini mengindikasikan beberapa perilaku  tidak beretika yang mereka akui.
Tabel 2: Kesalahan apa yang dilakukan karyawan
Tindakan tidak beretika
% Karyawan yang Mengakuinya.
Menciptakan situasi yang kemungkinan besar membahayakan dengan menggunakan teknologi baru (misalnya: telepon seluler) sambil mengemudi.

Menimpakan secara keliru sebuah kesalahan yang dilakukan  pada kegagalan pemakaian teknis.

Menggunakan peralatan kantor untuk melakukan  belanja pribadi di Internet.

Meniru software  perusahaan untuk digunakan di rumah.
19 %


14 %


13 %

13 %
Sumber : Justin G. Longenecker (2001) hal. 467
            Untungnya sebagian besar karyawan perusahaan tidak mengalami  tekanan seperti itu. Dalam sebuah  survei nasional orang-orang yang secara pribadi memegang posisi manajerial dan profesional di dalam perusahaan kecil, para responden yang dilaporkan merasakan tingkatan tekanan di bawah ini untuk bertindak secara tidak etis.
            Tidak ada tekanan                     67 %
            Tekanan yang ringan                  29 %
            Tekanan yang besar                   3,8 %.
b)       Kerentanan Perusahaan Kecil
Berjalan lurus dan seksama mungkin akan lebih sulit dan mahal pada Main Street daripada di Wall Street. Yaitu perusahaan kecil akan menghadapi  godaan dan tekanan yang lebih besar untuk bertindak secara tidak etis sebagai hasil langsung dari ukuran mereka. Sebagai contoh, kekurangan sumber daya  akan membuat sulit  bagi para pemilik perusahaan  kecil untuk menghindari  pemerasan oleh pejabat publik.
Profesor William Baxter dari Standford Law School memperhatikan bahwa bagi para pemilik  yang seperti itu , menunda izin bangunan atau menggagalkan inspeksi sanitasi dapat menjadi “peristiwa yang mengancam hidup” yang membuat mereka jatuh ke dalam tuntutan akan uang suap. Sebaliknya, dia menambahkan,”Manajer Burger King  setempat berada dalam posisi yang lebih baik” untuk mengatakan hal ini pada orang-orang untuk minggat (Justin G. Longenecker, 2001: 467).
Godaan bagi para wirausaha untuk membahayakan standar etika seperti mereka berusaha keras untuk mendapatkan  laba merupakan  bukti dalam hasil sebuah penelitian etika kewirausahaan. Dalam penelitian ini pandangan  para wirausaha mengenai berbagai masalah  etika yang dibandingkan  dengan masalah manajer dan profesional bisnis lain. Para responden  disajikan dengan 16 sketsa, masing-masing menguraikan keputusan bisnis yang memiliki nada tambahan etika. Mereka diminta untuk menilai tingkatan pada tiap tindakan yang ditemukan sesuai dengan pandangan pribadi etika mereka, yang menggunakan skala 7 poin (tidak pernah dapat diterima) sampai 7 (selalu dapat diterima).
Salah satu sketsa yaitu: ”Seorang pemilik perusahaan kecil memperoleh salinan program software komputer yang dilindungi hak ciptanya secara gratis dari seorang teman bisnis daripada mengeluarkan uang $500 untuk memperoleh programnya sendiri dari penyalur software. Sebagian besar responden  menunjukkan pendirian moral yang kuat. Mereka mengutuk keputusan yang secara  etika dapat  dipertanyakan sebaik dengan keputusan yang secara jelas tidak sah. Untuk semua sketsa penilaian tanggapan yang buruk, baik bagi para wirausaha dan responden lainnya kurang  dari 4 (kadang dapat diterima), mengindikasikan beberapa tingkatan  celaan. Untuk sembilan dari 16 sketsa, terdapat  perbedaan yang tidak signifikan antara tanggapan  para wirausaha dan yang lainnya. Untuk 7 sketsa yang tersisa, para wirausaha tampaknya secara signifikan kurang bermoral (lebih menyetujui tingkah laku yang dapat dipertanyakan). Tiap situasi ini  melibatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan secara keuangan dengan mengambil kleuntungan dari kantung seseorang. Sebagai contoh, para  wirausaha lebih mau  mengampuni penawaran yang kolusif dan menduplikasi software komputer yang dilindungi hak cipta tanpa membayar pembuatnya untuk penggunaannya (Justin G. Longenecker, 2001: 469).
Secara nyata godaan  khusus timbul untuk para wirausaha yang terdorong dengan kuat untuk mendapatkan laba. Dengan demikian menunjukkan bahwa  sebagian besar para wirausaha menunjukkan sensitivitas yang umum, tetapi beberapa wirausaha sangat rentan  berhubungan dengan masalah etika  yang secara langsung mempengaruhi laba. Ketika tekanan bisnis tidak membenarkan  perilaku tidak bermoral, masalah etika membantu menjelaskan konteks dalam dibuatnya keputusan tersebut. Pembuatan keputusan mengenai masalah etika sering meminta pilihan yang sulit pada bagian dari wirausaha.

MEMBANGUN BISNIS YANG BERETIKA
            Tujuan seseorang dalam bisnis yang termotivasi secara etis dengan memiliki sebuah bisnis yang mengoperasikan  dengan hormat di semua bidang. Untuk mencapai kinerja yang etis, manajemen harus menyediakan jenis kepemimpinan, budaya, dan instruksi yang mendukung perilaku etis. Ada beberapa pendekatan praktis untuk membangun  sebuah bisnis yang beretika antara lain dengan pendekatan:
a) Nilai-nilai Pokok yang Kuat
            Dalam bisnis perlu mempraktekkan sebagai seorang pemimpin atau karyawan yang memandang benar atau salah untuk merefleksikan nilai-nilai pokok mereka. Keyakinan individu mempengaruhi apa yang dilakukan orang  tersebut pada pekerjaan dan bagaimana bertindak pada para konsumen  dan lainnya. Perilaku bisa merefleksikan sebuah komitmen untuk kejujuran, rasa hormat, dan keterusterangan yaitu, terhadap integrasi dalam semua dimensi. Nilai-nilai seperti itu, merupakan bagian keyakinan filosofi dasar atau keyakinan agama yang berfungsi sebagai keyakinan yang mendasari perilaku  bisnis. Semua ukuran, komitmen pribadi seorang pemimpin pada nilai dasar tertentu merupakan faktor penting yang menentukan  iklim etika dalam perusahaan kecil.
            Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang paling hebat, paling kaya, dan senang bila masyarakat sekelilingnya hidup menderita. Sikap jujur mewujudkan keadilan, sedangkan keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, serta menyucikan, menciptakan budi pekerti yang luhur seseorang mustahil dapat memeluk  agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak suci. Teguhlah pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikan, serta jangan pula berdusta walaupun dusta menguntungkan (Suyadi, 1984: 4).
            Hal tersebut tampak nyata bahwa  sebuah komitmen  mendalam pada nilai dasar mempengaruhi perilaku bisnis beretika yang secara luas dihargai dan dikagumi. Tanpa komitmen yang kuat pada integritas pada bagian kepemimpinan bisnis berskala kecil, standar etika dapat dengan mudah diselewengkan.
b) Kepemimpinnan yang Beretika
            Para wirausaha yang peduli dengan kinerja yang etis dalam perusahaan dapat menggunakan pengaruhnya sebagai pemimpin dan pemilik untuk membesarkan hati dan bahkan menuntut  bahwa tiap orang di perusahaannya menunjukkan  kejujuran dan integritas, dalam semua organisasi, dan orang yang berada pada tingkat yang tepat dari pernyataan dan tingkah laku manajemn tingkat puncak.
            Dalam sebuah organisasi kecil, pengaruh etika dari seorang pemimpin lebih dinyatakan daripada dalam sebuah korporasi besar, tempat kepemimpinan dapat tersebar ke mana-mana. Potensi untuk mendirikan standar etika  yang tinggi dalam  perusahaan kecil nyata sekali. Seorang wirausaha yang percaya secara  kuat dalam kejujuran dan keterusterangan dapat  menuntut bahwa prinsip-prinsip tersebut  harus diikuti seluruh organisasi. Sebagai akibatnya pendiri atau pimpinan  bisnis dapat berkata, ”Integritas pribadi berada pada garis tersebut, dan pimpinan  ingin bawahan untuk melakukannya dengan cara ini”. Pernyataan seperti itu dengan mudah dipahami. Pemimpin seperti itu lebih efektif ketika mendukung pernyataan itu dengan  perilaku yang tepat.
            Integritas pribadi pendiri atau pemilik merupakan kunci kinerja sebuah perusahaan yang beretika. Peranan yang dominan dari satu orang (atau tim kepemimpinan) memberikan orang tersebut (atau tim) sebuah suara yang kuat dalam kinerja perusahaan kecil yang beretika.
c)       Kebudayaan dan Instruksi yang Mendukung secara Etis
Secara konsisten kinerja yang beretika kuat dalam sebuah bisnis membutuhkan budaya organisasi yang mendukung. Idealnya, tiap manajer dan karyawan, seharusnya memecahkan tiap masalah etika dengan sendirinya dengan hanya melakukan  hal yang ”tepat”.
Dengan motivasi, kemampuan dan lingkungan yang sesuai kesemuanya merupakan faktor-faktor yang menunjang pertumbuhan kewirausahaan. Karena motivasi dan kemampuan merupakan problem sosiologis jangka panjang, maka untuk menumbuhkan kewirausahaan negara terbelakang perlu diciptakan iklim sosial, politik dan ekonomi yang sesuai (Jhingan, 2008: 430).
Sebuah budaya etika merupakan satu budaya yang membuat perusahaan melakukan sebagai usaha dengan keyakinan yang baik untuk memenuhi kewajiban pada semua bukan hanya pada karyawannya, tapi juga pada para konsumen, pemegang saham, komunitas dan lingkungan.
Dalam meyakinkan pelanggan dengan melalui penawaran yang tidak jujur untuk menjual sebuah produk  barang atau jasa pada harga yang sangat rendah, yang digunakan untuk memikat konsumen sehingga mereka kemudian beralih pada jasa atau barang yang lebih mahal. Hal ini sering dilihat dalam perjalanan tertulis harga buah tertentu yang seakan-akan murah misalnya duku Rp 5.000,-/kg, setelah dikunjungi ternyata yang ditawarkan duku yang sudah busuk. Sehingga pembeli beralih pada barang yang lebih mahal dan baik.

PENUTUP
Berdasarkan uraian sebelumnya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa membangun bisnis berskala kecil yang beretika dapat dilihat  dengan beberapa pendekatan di bawah ini:
1.  Dengan memakai pendekatan  praktis melalui nilai-nilai pokok dari pimpinan bisnis dan perilaku yang ditetapkan para pemimpin itu dengan tindakan mereka merupakan kekuatan besar yang mempengaruhi kinerja yang beretika.
2.   Budaya  organisasi yang mendukung kinerja yang beretika merupakan kunci untuk mencapai perilaku  beretika di antara karyawan perusahaan.
3.  Perusahaan kecil seharusnya mengembangkan kode etik untuk memberikan petunjuk bagi para karyawannya.
4.  Perusahaan berskala  kecil  perlu mempromosikan tingkah laku beretika di seluruh komunitas ekonomi.
-----

DAFTAR PUSTAKA
Ala AB Editor (1996) Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan, Liberty, Yogyakarta
Ali AH Penerjemah buku Kast FE dan Rosenzweig JE (2002) Organisasi dan Manajemen Edisi ke empat, Bumi Aksara, Jakarta
Ciputra (2009) The Ciputra Way, Praktik Terbaik Menjadi Entrepreneur Sejati, Gramedia , Jakarta
Ciputra (2009) Ciputra Quantum Leap Entrepreneurship mengubah masa depan Bangsa dan Masa Depan Anda. Elex Media Komputindo, Jakarta
Dumairy (1999) Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta
Gitosudarmo I. (2000) Manajemen Pemasaran, BPFE, Yogyakarta
Ibrahim J. dan Sewu L. (2004) Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung
Jhingan ML.(2008) Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Kamaludin R (1998) Pengantar Ekonomi Pembangunan, FEUI, Jakarta
Longenecker JG (2001) Kewirausahaan Manajemen Usaha Kecil, Salemba Empat, Jakarta
Suyadi (1984) Buku Materi Pokok Ilmu Budaya Dasar, Depdikbud
Suyanto B Editor (1995) Perangkap Kemiskinan Problem dan Strategi Pengentasannya. Airlangga University Press, Surabaya
Widjaja G. (2004) Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis. Pemilikan, Pengurusan, Perwakilan dan Pemberian Kuasa Dalam Sudut Pandang KUH Perdata, Prenada Media, Jakarta
Jurnal Hukum Argumentum, Volume 6 Nomor 1, Desember 2006, Suparnyo (2006) Mewujudkan Persaingan Usaha Sehat Dalam Dunia Bisnis di Era Globalisasi
Majalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Tahun X, Nomor 1, Januari 1997. (Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik) Soembodo B (1997) Sektor Informal: Suatu Lapangan Pekerjaan Alternatif dan Implikasi Kebijaksanaannya.


* Dra. Henny Purwanti.MM. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang.

Jumat, 22 Januari 2010

PENGUATAN HAK REPRODUKSI PEREMPUAN MELALUI KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM UPAYA MENGHINDARI TINDAKAN ABORSI


Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 9 No. 1, Desember 2009
ISSN: 1412-1751



PENGUATAN HAK REPRODUKSI PEREMPUAN MELALUI KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM UPAYA MENGHINDARI TINDAKAN ABORSI
 Oleh: Henny Purwanti*


ABSTRAK
Upaya untuk memberikan perlindungan hak-hak reproduksi bagi masyarakat yaitu dengan mencerminkan salah satu misi Program Keluarga Berdncana Nasional, adalah dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sejak dimulainya proses pembuahan  dalam kandungan sampai usia lanjut. Hak-hak reproduksi ini dipandang penting artinya bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan individu  secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani sesuai norma-norma hidup sehat.
Kata Kunci: Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Keluarga Berencana, Tindakan Aborsi.
                                         
A. Latar Belakang
Dalam Islam ada beberapa isue yang sering diangkat kepermukaan, terutama yang berkaitan dengan isu relasi jender. Salah satu isu tersebut adalah “Hak-hak Reproduksi Perempuan” di samping tentang kejadian perempuan, konsep kewarisan, persaksian, aqiqah, diet, peran publik perempuan, dan konsep superioritas laki-laki. Bila membaca sepintas beberapa ayat dan Hadist tentang hal tersebut memang mempunyai kecenderungan bahwa Islam memojokkan perempuan dan mengistimewakan laki-laki. Perempuan selalu  diidentikan dengan berbagai peran domestik (reproduktif), sedangkan laki-laki dikesankan dengan peran-peran di ruang publik (produktif). Akan tetapi, jika menyimak secara jernih dan mendalam dengan menggunakan metode semantik, semiotik dan hermeneutik secara kritis, maka justru sebaliknxa, Islamlah yang pertama kali menggagas konsep keadilan jender dalam sejarah panjang umat manusia.
            Jika dikaitkan dengan program  pemerintah, sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hak-hak reproduksi bagi masyarakat adalah  mencerminkan salah satu misi Program Keluarga Berencana Nasional, yaitu dalam rangka mempersiapkan sumber daya  manusia Indonesia yang berkualitas sejak dimulainya proses pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Hak-hak reproduksi ini dipandang penting  artinya bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani sesuai dengan norma-norma hidup sehat. Sesuai dengan ke-sepakatan dalam konferensi internasional kependudukan dan pembangunan di Cairo, maka hak-hak reproduksi terdiri atas:
1.       Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi;
2.       Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi;
3.       Hak  untuk kebebasan berpikir dan membuat keputusan tentang kesehatan re-produksinya;
4.       Hak untuk  memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak;
5.       Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko kematian karena kehamilan, kelahiran atau masalah jender;
6.       Hak atas kebebasan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi;
7.       Hak untuk  bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk  yang menyangkut kesehatan reproduksi;
8.       Hak mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi;
9.       Hak atas  kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan reproduksinya;
10.   Hak untuk membangun  dan merencanakan keluarga;
11.   Hak atas  kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang bernuansa  kesehatan reproduksi;
12.   Hak atas kebebasan  dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan reproduksi.
Akan tetapi  jika dilihat di lapangan menunjukkan bahwa hampir di semua lapisan  masyarakat kerapkali terjadi pelanggaran hak-hak reproduksi. Kasus- kasus pelecehan seksual, pemaksaaan dalam pemakaian alat kontrasepsi, kekerasan terhadap wanita, baik oleh suami atau orang lain, sering tidak dilaporkan oleh para korban, karena rendahnya pengetahuan mereka tentang hak-hak yang dimilikinya. Atau mereka tidak tahu kemana mereka akan mengadu atau mencari perlindungan atas segala bentuk pelanggaran hak yang dialaminya.
Mengenai kesehatan reproduksi bagi perempuan, khususnya menyangkut kehamilan sekaligus untuk mencegah aborsi, sebenarnya telah diakukan  oleh para cerdik pandai terdahulu, termasuk para ulama Islam  zaman pertengahan. Fakta  berbicara bahwa aborsi telah dilakukan oleh 2.300.000 (dua juta tiga ratus ribu) perempuan (Kompas, 3 Maret 2000) menurut data WHO terdapat  15% - 50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Dari 20 juta pengguguran  kandungan tidak  aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan  70.000 perempuan yang meninggal dunia (Sururin dkk. 2002: V)
Karena banyaknya kasus yang sangat mengerikan tersebut juga berada di lingkungan masyarakat sekitar maka dapat dikaji secara lebih dalam lagi mengenai Penguatan hak reproduksi perempuan melalui ber keluarga berencana untuk mencegah tindakan aborsi. Utamanya bagi masyarakat yang ada di Wilayah Kabupaten Lumajang. Tepatnya di Kecamatan Tekung dan Kecamatan Lumajang.
Oleh karena itu untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dapat diatasi dengan  keikut sertaan wanita dalam berkeluarga berencana. Akan tetapi hal ini dirasa belum adil. Mengapa yang harus ikut program keluarga berencana mayoritas perempuan? Padahal wanita yang seharusnya diilindungi yang justru masih banyak yang mengorbankan dirinya demi keluarga dan kesejahteraan keluarga melalui kesediaan mengkonsumsi berbagai produk alat-alat kontrasepsi untuk para wanita.
B. Permasalahan
             Berdasarkan  latar belakang tersebut di atas, maka perlu untuk diidentifikasikan beberapa permasalahan dalam penelitian ini antara lain:
1.       Bagaimana keluhan yang dirasakan para perempuan yang mengkonsumsi alat kontrasepsi dan dengan kesetaraan jender adakah perhatian dari para laki-laki?
2.   Mengapa hak reproduksi perempuan melalui Keluarga Berencanan bisa menjadi solusi untuk menghindari tindakan aborsi?
C. Landasan Teori
C.1. Hak-hak Reproduksi Perempuan
Hak reproduksi secara umum adalah hak yang dimiliki oleh individu baik pria maupun wanita yang berkaitan dengan keadaan reproduksinya. Hak reproduksi terkait dengan hak asasi manusia yang melekat pada manusia sejak lahir. Ini berarti makna bahwa pelanggaran terhadap hak reproduksi berarti pelanggaran  terhadap hak asasi manusia. Dalam hak reproduksi seseorang maka di dalamnya  terkandung juga kewajiban. Artinya bila seseorang telah  mengetahui haknya seharusnya mengetahui kewajibannya yang berkaitan dengan hak reproduksi tersebut. Dengan mengetahui hak dan kewajiban tersebut maka seseorang  dapat berperan aktif untuk melakukan pemantauan terhadap pelanggaran hak-hak reproduksi.
Berdasarkan hasil konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994 ada 12 macam hak reproduksi bagi pria maupun wanita, yaitu:
1.      Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi; antara lain mengenai berbagai metode kontrasepsi. Termasuk perihal kelebihan dan keterbatasan dari masing-masing metode kontrasepsi.
2.      Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi. Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan terkait dengan kehidupan reproduksinya termasuk terhindar dari kematian akibat proses reproduksi.
3.      Hak untuk kebebasan berpikir tentang kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang kehidupan reproduksi yang diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh menyebabkan terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat saja berupaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan pemaksaan, melainkan  dengan melalui KIE atau advokasi. Contoh: seorang suami dapat saja mempunyai pikiran bahwa segala yang berhubungan dengan reproduksi seperti bahwa segala yang berhubungan dengan reproduksi seperti penggunaan kontrasepsi, kehamilan, menyusui, dan melahirkan semata-mata urusan wanita (isteri). Upaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan setelah mempertimbangkan berbagai aspek manfaat dan kerugian yang diperoleh dari penyampaian informasi dan advokasi tentang KB dan kesehatan reproduksi.
4.      Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran. Setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimiliki serta jarak kelahiran yang diinginkan. Dalam konteks dengan program KB dan Kesehatan Reproduksi, pemerintah dan masyarakat tidak boleh melakukan  pemaksaaan jika seseorang ingin memiliki anak dalam jumlah yang besar dengan tidak ikut menggunakan alat kontrasepsi. Yang harus dilakukan  adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai untung ruginya memiliki jumlah anak banyak ditinjau dari berbagai aspek ekonomi, pendidikan, dan sosial, sehingga kemudian mereka akan menentukan  memiliki jumlah anak yang ideal.
5.      Hak untuk hidup (Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan). Setiap wanita (isteri) yang hamil dan akan melahirkan berhak mendapatkan perlindungan, dalam arti mendapatkan bantuan dan pelayanan kesehatan yang baik sehingga terhindar dari kemungkinan kematian dalam proses kehamilan dan melahirkan, serta mendapat perhatian dan perlindungan dari suami dan keluarga.
6.      Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Hak ini terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri kehidupan reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Dalam konterks adanya hak tersebut, maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak terjadi pemaksaan atau pengucilan  atau munculnya ketakutan dalam diri individu karena memiliki hak kebebasan.
7.      Hak  untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual. Seseorang terutama wanita berhak mendapatkan perlindungan dari kemungkinan berbagai perlakuan buruk seperti perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual. Berbagai perlakuan butuk tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan  reproduksi seorang wanita. Perkosaan misalnya dapat menimbulkan kehamilan  yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan maupun keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau tindakan kekerasan lainnya dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis yang kemudian dapat saja berpengaruh  pada kehidupan reproduksinya.
8.       Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait  dengan kesehatan reproduksi, misalnya mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya, serta kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan berkualitas yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi (misal: alat kontrasepsi baru)
9.      Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya. Setiap individu harus dijamin kerahasiaan kehidupan kesehatan reproduksinya, seperti jenis alat kontrasepsi yang dipergunakan, informasi kehidupan seksual, masa menstruasi, penyakit yang berhubungan dengan  reproduksi dan lain sebagainya. Petugas atau seseorang yang memiliki informasi tersebut tidak boleh membocorkan atau dengan sengaja memberikan informasi yang dimilikinya kepada orang lain.
10.   Hak membangun dan merencanakan keluarga. Setiap individu dijamin haknya: kapan, dimana, dengan siapa, dan cara bagaimana ia akan membangun keluarganya. Tentu saja kesemuanya ini tidak terlepas dari norma agama, sosial, dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.
11.   Hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat atau  aspirasinya baik melalui pernyataan pribadi atau melalui suatu kelompok atau partai politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Misalnya: seorang menyuarakan pertentangan atau persetujuan terhadap aborsi, atau menyuarakan penentangan atau persetujuan terhadap penggunaan salah satu metode kontrasepsi. Yang perlu diperhatikan adalah dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi tersebut harus memperhatikan azas demokrasi dalam arti tidak boleh memaksakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain serta taat pada hukum dan peraturan yang berlaku.
12.   Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi. Setiap orang tidak boleh mendapat perlakuan diskriminatif berkaitan dengan kesehatan reproduksi karena kondisi sosial ekonomi serta keyakinannya. Misalnya orang tidak mampu harus mendapat pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Demikian pula seseorang tidak boleh mendapatkan perlakuan pelayanan kesehatan yang berbeda, hanya karena ia mempunyai keyakinan yang berbeda (BKKBN, 2006: 17-21)
 Menurut  pendapat yang disampaikan oleh Masdar F. Mas’udi mengkategorikan hak-hak kaum perempuan sebagai pengemban fungsi reproduksi menjadi tiga hal, yaitu:
Pertama, hak jaminan keselamatan  dan kesehatan. Hak ini mutlak mengingat  resiko sangat besar yang bisa terjadi pada kaum ibu dalam menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, mulai dari menstruasi, berhubungan seks, mengandung. Melahirkan dan menyusui. Dalam menjalani  Keluarga Berencana (KB) misalnya belum tentu alat kontrasepsi   yang digunakan  cocok bagi kondisi fisik dan kesehatannya. Sementara masyarakat tahu tidak ada satu alat kontrasepsi, terutaman yang hormonan (Suntik, Susuk, atau pil) yang seratus persen aman bagi  kesehatan. Begitu juga spiral, jika tidak hati-hati atau tidak cocok, bisa membawa akibat pada kesehatan.
Kedua, hak jaminan kesejahteraan, bukan saja selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan dan menyusui) berlang-sung, tapi juga di luar masa-masa itu dalam  statusnya sebagai isteri dan ibu dari anak-anak, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an “Di atas pundak ayah terletak tanggung jawab memberikan nafkah dan perlindungan bagi ibu anak-anaknya secara makruf” (Q.S.al-Baqarah/2: 233)
Ketiga, hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan (isteri) khususnya yang berkaitan dengan proses-proses reproduksi. Hak kategori ketiga ini dapat dipahami dari ayat al-Qur’an tentang bagaimana suatu keputusan yang menyangkut pihak-pihak terkait dalam lingkup apapun harus diambil secara musyawarah; “Urusan mereka haruslah dimusyawarahkan (dibicarakan dan diambil keputusan) di antara mereka” (Q.S. al.Syura/42: 38).
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 49:
Ayat 2: dinyatakan bahwa wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
Ayat 3: dinyatakan bahwa Hak Khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Adapun yang dimaksud dengan “perlindungan  khusus terhadap fungsi  repro-duksi” adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak (UU RI tentang Pengadilan HAM dan HAM, Tahun 2001: 99).
Sesungguhnya gerakan feminisme bukanlah gerakan semata-mata menyerang  laki-laki, tetapi merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, serta citra patriarkal bahwa perempuan itu pasif, tergantung dan enferior. Sehingga, transformasi gender sebagai jalan menuju transformasi sosial yang lebih luas, harus merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala  bentuk ketidak adilan, penindasan, dominasi dan diskriminasi: sebagai hubungan yang saling terkait, yang  meliputi hubungan ekonomi, sosial, kultural, ideologi, lingkungan dan termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan sebagai warga negara, mereka mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai  dan negaralah yang berkewajiban menyediakannya. Hal ini termaksud di dalam Konvensi tentang pernghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan pasal 12 tentang konvensi perempuan dan undang-undang kesehatan.
C.2. Berbagai Jenis Alat Kontrasepsi KB
Kontrasepsi /Alokon.
            Kontrasepsi adalah suatu alat, obat atau cara yang digunakan untuk mencegah terjadinya  konsepsi atau pertemuan antara sel telur dengan sperma di dalam kandungan/ rahim (Alokon). Cara kerja alokon: 1) Mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi; 2) Melumpuhkan sperma; dan 3) Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma.
Alokon untuk Wanita antara lain: 1) IUD (Pasang spiral, suntik angin, AKDR, tutul); 2) Implant/Norplant (Susuk KB, AKBK/Alwalit); 3) Pil; 4) Suntik; 5) Tissu/In Romantika; 6) Obat vaginal; 7) Diafragma; 8) Jelly; 9) Kontap/MOW/Steril; dan 10) Kondom wanita
Sedangkan alokon untuk Pria adalah: 1) Pil KB pria (Uji coba); 2) Suntik KB pria (Uji coba); 3) Kondom (Karet KB, sarung KB, kondom 25, sarman); 4) Kontap (MOP); dan 5) Sanggama terputus (Cotus interptus, azaal, cengkir). Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Dr. Siswanto Agus Wilopo, SU., MSc., Sc.D. mengemukakan bahwa setiap tahun, di Indonesia diperkirakan  terjadi dua juta – dua juta enam ratus ribu kasus aborsi, atau terjadi 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan, 30 % diantaranya diperkirakan dilakukan oleh penduduk usia 15 – 24 tahun.
Dengan melihat kejadian-kejadian yang ada  dalam masyarakat penulis merasa terharu sekaligus prihatin dengan kondisi dan peristiva yang dialami oleh para wanita, dimanapun berada semoga tidak bertambah lagi kasus-kasus  yang menimpa calon generasi baru di masa mendatang.
Sebagai bahan ilmu pengetahuan para wanita perlu memahami berbagai konsep baik dari bidang agama, hukum, sosial dan susila, sekaligus memahami Norma Keluarga Kecil Sehat Sejahtera melalui keikutsertaannya dalam pemakaian alat kontrasepsi/alokon. Baik alokon untuk wanita maupun alokon untuk pria perlu dijadikan bahan pertimbangan.
Kebahagiaan menurut isinya adalah suatu keadaan sejahtera (well being) yang seharusnya ada pada manusia (K. Bertens dalam Daldiyono, 2007: 208). Definisi asli dari Aristoteles mengenai kebahagiaan yaitu keadaan manusia dimana manusia itu “men-cukupi pada dirinya sendiri (self-suficient) yang pada dirinya menjadikan sesuatu di-inginkan (desirable) dan tidak memiliki kekurangan sama sekali” (Embun Kenyowati). Sehat dan bahagia disatukan dalam konsep kualitas sehat. Sehat yang berkualitas sehat. Sehat yang berkualitas dapat berarti sehat tanpa adanya penyakit sama sekali atau sehat bersyarat, yaitu meskipun tubuh mengidap penyakit, fungsi tubuh secara keseluruh-an masih berlangsung dalam situasi harmonis.
Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan Keluarga Berencana sebagai salah satu upaya untuk mencegah tindakan aborsi serta dalam rangka mencapai tujuan sesuai dengan program pemerintah yaitu terbentuklnya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS).
C.3. Aborsi Antara Kesehatan, Hukum dan Agama
            Kata aborsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu abortion, yang berarti: gugur kandungan atau keguguran. Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (Oleh akibat –akibat  tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan.       Definisi medis mengarti-kan aborsi sebagai berakhirnya suatu kehamilan sebelum viability, yaitu sebelum janin mampu hidup sendiri di luar kandungan, yang diperkirakan usia kehamilannya di bawah usia 20 minggu (WHO). Definisi tersebut jelas bahwa perbuatan aborsi dilakukan terhadap janin yang tidak dapat hidup di luar kandungan. Abortus dibagi menjadi dua, yaitu:
1.       Abortus spontan (spontaneus abortion/ijhad al-zati);
2.       Abortus buatan (Provocatus/ijhad ikhtiyani)
Abortus spontan  yang oleh ulama disebut dengan isqath al-afw adalah abortus yang tidak disengaja/terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya-upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Dalam  beberapa kepustakaan, terminologi yang paling sering  digunakan untuk hal ini adalah keguguran (miscarriage). Aborsi spontan bisa terjadi karena penyakit, kecelakaan, terlalu capek dan sebagainya. Hukum dari aborsi tersebut dima’afkan atau tidak menimbulkan akibat hukum.
Sedangkan abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan. Istilah yang sering digunakan untuk peristiwa ini adalah aborsi, pengguguran, atau abortus provocatus/ijhad ikhtiyani. Atau abortus yang disengaja terbagi dalam dua macam:
1.    Aborsi artificialis Therapicus, yaitu aborsi yang dilakukan oleh seorang dokter atas dasar  indikasi medis sebelum janin lahir secara alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan. Aborsi ini di kalangan ulama disebut dengan  isqath al-dharury (aborsi darurat) atau isqath al-‘Ilajiy (aborsi pengobatan).
2.    Aborsi Provocatus Criminal, yaitu penggunguran kandungan yang dilakukan tanpa indikasi medis, atau ada sebab yang membolehkan  sebelum masa kelahiran tiba. Aborsi bentuk kedua ini biasa disebut dengan isqath al-ikhtiyari (aborsi yang disengaja). Tindak aborsi  yang disengaja tersebut  bisa disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin mempunyai keluarga besar, kekhawatiran janin yang ada dalam kandungan akan hadir dalam keadaan cacat, hamil di luar nikah (Sururin dkk, 2002: vi)
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seorang wanita untuk melakukan aborsi, antara lain:
-          Kehamilan akibat  hubungan seks di luar perkawinan yang sah termasuk pemerkosaan;
-          Kehamilan yang tidak dikehendaki karena jarak kehamilan yang tidak teratur;
-           Kehamilan yang dapat mengancam jiwa si ibu;
-           Beban psikologis yang belum mampu menerima kehadiran seorang anak;
-           Secara ekonomis tidak mampu menanggung beban biaya kehidupan seorang bayi;
-          Alasan untuk menjaga dan mempertahankan kebugaran dan kecantikan.
Banyak cara yang dilakukan orang di dalam melakukan aborsi. Menurut Eckholm (dalam Nasaruddin Umar dengan judul Aborsi dalam Pandangan Agama-agama Samawi 2002: 76) mengemukakan bahwa ada 4 (empat)  hal yang sering dilakukan dalam melakukan aborsi, yaitu:
1.       Menggunakan jasa medis di rumah sakit atau tempat-tempat praktek;
2.       Menggunakan jasa dukun pijat;
3.       Menggugurkan sendiri kandungannya dengan alat-alat kasar; dan
4.       Menggunakan obat-obatan tertentu.
Kehamilan yang diperoleh melalui pasangan suami-isteri yang sah lebih banyak menggunakan jasa yang pertama, sedangkan kehamilan sebagai hasil hubungan gelap pada umumnya menggunakan cara ke dua, ke tiga `tau ke empat.
D. Hasil Analisis dan Pembahasan
1. Dari hasil rekapitulasi peserta KB aktif keadaan bulan Januari 2009 s.d. Agustus 2009 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1.
Hasil Pencapaian KB Aktif keadaan Bulan Januari s.d. Agustus 2009
Di Kelurahan Jogotrunan dan di Desa Tukum.
No
Jenis Alokon
Kel. Jogotrunan
Ds. Tukum
Total
% Total
1
2
3
4
Pencapaian PA MKEJ:
- IUD
- KP
- KW
- IMPL
52
3
17
48
60
5
15
57
112
8
32
105
3,8
0,3
1,1
3,6
Jumlah
120
137
257
8,8
5
6
7
Pencapai PA Non MKEJ:
- Suntik
- Pil
- KDM
870
414
26
665
697
-
1.535
1.111
26
52,4
37,9
0,9
Jumlah
1.310
1.362
2.672
91,2
Total SM
1.430
1.499
2.929
100
8
Jumlah PUS
1.526
1.729
3.255
Sumber: Data skunder dari pengurus Kel. Jogotrunan dan Desa Tukum Agustus 2009
            Secara keseluruhan total data tersebut di atas dapat diperoleh hasil bahwa pencapaian peserta aktif MKEJ hanya 8,8 %, dengan data terbesar adalah pengguna metode IUD sebesar 3,8 %, dan yang sedikit adalah metode KP hanya 0,3 %. Sedangkan pencapaian PA Non MKEJ sebesar 91,2 % dengan peserta  terbanyak adalah Suntik sebesar 52,4 % dan yang paling sedikit adalah pengguna kondom hanya 0,9 % dari total SM sebesar 2.929 orang peserta. Hal ini menunjukkan bahwa peran serta wanita dalam ber-KB di dua wilayah tersebut sebesar  98,8  % sedang peran serta pria hanya 0,3 % + 0,9 % = 1,2 %. Dan untuk jumlah pasangan usia subur secara total sebanyak 3.255 orang dengan total semua metode KB sebanyak 2.929  orang (90%) berarti yang tidak mengikuti program KB sebanyak 326 orang (10 %).
Dari data tersebut juga dapat dilihat bahwa di Kel. Jogotrunan, Kec. Lumajang hasil pencapaian peserta KB MKEJ terbesar adalah memakai metode IUD sebanyak 52 orang (3,6 %) dan yang sedikit pesertanya yaitu KP hanya 3 orang (0,2 %), sedangkan yang memakai program Non MKEJ terbanyak yaitu suntik 870 peserta (60,8 %), yang sedikit pemakai kondon hanya 26 orang (1,8 %). Berarti tingkat partisipasi pria di Kelurahan Jogotrunan, Kecamatan Lumajang sebesar 2 %. Dan partisipasi wanita 98 % dari total semua metode (SM) sebanyak 1.430 peserta. Dan untuk jumlah pasangan usia subur di Kelurahan Jogotrunan sebanyak 1.526 orang yang ikut KB 1.430 orang (93,7 %) berarti yang tidak/ belum ikut KB  sebanyak 96 orang (6,3 %), dengan rincian bahwa ada 43 orang ibu hamil, ada yang tidak ingin mempunyai anak lagi sebanyak 14 orang, ada yang berkeinginan segera punya anak karena masih pasangan pengantin baru maupun yang lama sebanyak 24 orang , sedangkan ada 15 pasangan yang ingin anak tapi ditunda, berarti dia sudah pernah ber KB kemudian di hentikan sementara..
Hasil pencapaian peserta aktif KB di Desa Tukum, Kecamatan Tekung untuk program MKEJ yang paling banyak digunakan adalah IUD yaitu sebanyak 60 peserta (4 %), dan  yang sedikit KP hanya 5 peserta (0,3 %), sedangkan yang memakai  program Non MKEJ yang banyak adalah pemakai pil sebanyak 697 peserta (46,5 %), dan untuk alokon yang tidak ada penggunanya adalah kondom. Berarti partisipasi pria di Desa Tukum, Kecamatan Tekung sebesar 0,3 % dan wanitanya 99,7 % atau mayoritas wanita yang paling banyak mengkonsumsi alokon KB. Dari total semua metode (SM) sebanyak 1.499 peserta.  Dan untuk jumlah pasangan usia subur (PUS) di Desa Tukum sebanyak 1.729 orang, yang mengikuti program KB sebanyak 1.499 orang (82,7%) berarti yang tidak mengikuti program KB sebanyak 230 orang (13,3%)
Ternyata dilihat dari jumlah prosentase ketidakikutsertaan KB dari kedua wilayah penelitian tersebut menunjukkan bahwa di Kelurahan Jogotrunan lebih banyak yang ikut program KB yaitu sebanyak 90 % jika dibanding dengan wilayah di Desa Tukum hanya (82,7%). Hal ini menunjukkan bahwa di Wilayah pedesaan masih dibutuhkan adanya peningkatan dan pembinaan pendidikan serta pemahaman tentang pentingnya keluarga berencana, serta kesehatan bagi wanita.
Adapun hasil prevalensi peserta di Desa Tukum adalah semua metode (SM) dibagi PUS kali 100 diperoleh  hasil sebagai berikut: 1.499/1.729 X 100 = 86,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk mengikuti berbagai program keluarga berencana sudah baik, walaupun masih ada masyarakat yang masih meragukan keberhasilan dan kecocokan dengan budayanya. Dari 230 orang (13,3 %) PUS yang tidak  mengikuti program KB dapat dibayangkan jika terjadi kelahiran yang tidak diinginkan, entah itu karena alasan apapun hal ini yang bisa menjadi tugas bersama dalam menjalin kerjasama dengan petugas BKKBN dan pihak terkait lainnya dalam mensukseskan program KB agar tidak terjadi sesuatu yang  tidak diinginkan tersebut. Seperti aborsi yang tidak aman, serta timbulnya kematian ibu dan anak.
Jika dikaitkan dengan besarnya peranserta pria dan wanita, maka penemuan ini sangat berbeda dengan hasil rekap secara menyeluruh data pencapaian peserta KB tergantung wilayah, kemauan dan kemampuan ekonomi,  sosial dan budayanya. Hal ini dapat dibandingkan bahwa tingkat partisipasi pria se Kabupaten Lumajang hanya sebesar      0,4 %, tapi di Kecamatan Lumajang sebesar 2,6 %, dan di Kecamatan Tekung sebesar 0,65 %. Sedangkan total perolehan dari dua wilayah penelitian yaitu Kel. Jogotrunan dan Ds. Tukum sebesar 1,2 %, dan secara khusus untuk wilayah Kelurahan Jogotrunan  2 % yang banyak adalah penggunaan kondom dan di Desa Tukum 0,3 % tapi hanya Kontrasepsi Pria (KP) saja, tidak ada yang mengkonsumsi kondom sama sekali.
Terkait pengalaman responden dalam penggunaan alat kontrasepsi dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.
Pengalaman Responden Dalam Menggunakan
Beberapa Alat Kontrasepsi Selama Perkawinan
NO
Jenis Alokon
Kel Jogotrunan
Ds. Tukum
Jumlah
%
1
2
3
4
5
6
7
Pil
Suntik
Implan
IUD
Kondom
Kontap/MOW
Kontap/MOP
9
15
1
7
4
3
-
7
14
7
6
-
2
-
16
29
8
13
4
5
-
<.td>
21,3
38,7
10,7
17,3
5,3
6,7
39
36
75
100
Sumber: Data primer yang telah diolah 2009.
Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa lebih dari 50 % responden telah menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 2 sampai 3 jenis, karena dari 45 pengalaman responden diketemukan sebanyak 75 penggunaan alat kontrasepsi. Hal ini terlihat dari metode Suntik yang menggunakan sebanyak 29 responden (38,7 %) dari 73 jenis alat kontrasepsi yang dipergunakan. Yang paling rendah adalah pengguna alat kontrasepsi kondom, yaitu hanya 5,3 %. Ternyata untuk alat kontrasepsi mantap untuk Pria sama sekali tidak ada yang menggunakan. Hal ini membuktikan bahwa partisipasi pria sangat minim dalam program Keluarga Berencana. Utamanya  terhadap hasil analisis terhadap responden dalam pengamatan saat ini.
            Adapun alasan-alasan para responden untuk melakukan pergantian alat kontra sepsi bermacam-macam: antara lain ada yang menyatakan  karena tidak cocok, dengan menggunakan pil badan tambah gemuk, kepala sering pusing. Ada yang menyatakan karena menggunakan suntik KB maka mestruasinya tidak lancar, badan pegal-pegal, ada yang menyatakan karena memakai knndom tidak puas, seperti bukan dengan suami sendiri. Ada yang menyatakan sakit karena ada barang yang dimasukkan ke vagina, yaitu spiral dan bahkan ada yang hamil walaupun sudah memakai IUD, sehingga oleh Bidan dikuiret, karena dianggap sebagai kegagalan alokon, berarti terjadi aborsi karena terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut sering dialami oleh para ibu rumah tangga.
2. Kejadian Aborsi yang dialami Responden
            Sesuai dengan teori yang ada bahwa masalah aborsi adalah masalah yang sangat pribadi yang sulit untuk digali kebenaran dan kejujuran dari para pelaku, sehingga peneliti harus lebih jeli dan tanggap atas segala cerita yang disampaikan pada waktu wawancara agar tidak menyinggung perasaan pelaku.
            Sesuai dengan hasil pencarian data yang dapat diceritakan oleh masing-masing responden yang mengalami keguguran di Kelurahan Jogotrunan dan di Desa Tukum sebanyak 8 orang (16 %) dari 50 responden yang mengalami keguguran, dengan alasan kegagalan KB, keteledoran, karena jatuh, karena kecapaian, hamil di luar kandungan dan ada yang tidak menjelaskan alasannya. Dari 8 orang yang pernah mengalami keguguran ada yang sampai tiga kali dikuiret dengan alasan yang berbeda-beda. Jadi dari ke 50 responden jika dijumlah kelahiran yang tidak diinginkan sebesar 10 calon embrio/bayi (20 %) adalah kehamilan yang mengalami kegagalan. Baik keguguran yang spontan (alami) maupun keguguran yang dibuat. Yang kesemuanya itu pasti beresiko pada ibu dan anak. Apalagi dampaknya terhadap perkembangan ibu yang telah mengalami keguguran biasanya timbul berbagai macam trauma.
            Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan aborsi, diantaranya: kelahiran anak  yang tidak direncanakan atau kehamilan yang tidak dikehendaki, baik hasil hubungan seks di luar nikah, termasuk pemerkosaan, maupun hasil hubungan seks lewat perkawinan yang sah; faktor kesehatan, karena penyakit tertentu yang diderita oleh sang ibu yang dapat membahayakan jiwa misalnya; faktor kecantikan, dengan  pemahaman bahwa melahirkan dapat mempengaruhi kecantikan dan keseksian seorang wanita; faktor ekonomi, yaitu ketidakmampuan si ibu menanggung biaya kelangsungan kehidupan  sang bayi, dan lain sebagainya. Dari hasil wawancara diketemukan bahwa mayoritas responden mengemukakan pemeriksaan kehamilan dan kelahiran anak dilakukan di Rumah Sakit, ke Dokter, Bidan di Posyandu dan Puskesmas.
3. Peran serta Suami dalam mengikuti program KB Mantap dan Alasannya.
            Dari data responden yang diperoleh ternyata untuk kontrasepsi mantap pria (MOP) tidak ada sama sekali yang bersedia menjadi akseptor. Akan tetapi jika dilihat dalam data se Kelurahan Jogotrunan dan se Desa Tukum sendiri ada 8 pria  yaitu  3 orang dari Kel. Jogotrunan dan 5 pria dari Desa Tukum  yang berpartisipasi untuk menggunakan kontrasepsi mantap (MOP). Setelah ditelusuri ditemukan alasan dari pengantar peserta KB yaitu menurut petugas Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa(PPKBD)  dari Kelurahan Jogotrunan menyampaikan bahwa ada yang menyatakan bersedia ikut KB Pria karena anaknya sudah banyak yaitu sejumlah  9 orang, kemudian ada yang mau KB karena isterinya sudah tua dia masih muda, ada yang menyatakan sanggup ikut kontap karena dua isterinya masing-masing sudah punya 3 anak, jadi jumlah anaknya 6 orang dari kedua isterinya. Ada juga yang tidak bersedia memberikan alasan, tapi hanya tertawa saja jawabnya.
            Rata-rata para suami hanya bersedia mengantar dan memberikan ijin kepada isteri dalam menggunakan alat kontrasepsi, akan tetapi jika diajak untuk mengikuti program Keluarga Berencana selalu mengatakan bahwa itukan tugas wanita. Padahal secara hukum wanita dan pria sama-sama memiliki hak yang sama dalam kebebasan berfikir, memilih alat kontrasepsi dan memprogram jarak waktu kelahiran anak, serta mendidik dan memelihara kesehatan keluarga.
            Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini hasil penemuan terhadap respoden di Kelurahan Jogotrunan maupun di Desa Tukum masih mengarah bahwa partisipasi laki-laki sangat minim, dibanding dengan keikutsertaan metode kontrasepsi wanita yang hampir 98 %.
E. Penutup
E.1. Kesimpulan
Berdasarkan  seluruh paparan yang telah disajikan dalam analisis dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah :
1.       Banyak sekali keluhan yang dialami dan dirasakan oleh para perempuan yang mengkonsumsi alat seperti tidak cocok dengan program KB yang menjadi pilihannya, sehingga perlu mencoba metode lain dalam program KB yang ditawarkan. Mulai dari pengalaman mengkonsumsi pil ternyata berdampak gemuk, kemudian suntik katanya suka pusing, ada yang mengeluh pendarahan dan menstruasi tidak normal, yang mengkonsumsi susuk KB/Implan ada yang tidak menstruasi sama sekali, kemudian tubuh sakit semua, ada yang pakai IUD ternyata hamil juga, ada yang menyatakan terganggu waktu bersenggama, dan untuk kondom jarang sekali yang merasa puas, karena merasa seperti bukan suaminya. Adapun perhatian dari para suami selaku pasangan kebanyakan hanya bersedia mengantarkan kalau isteri akan ber KB dan memberikan ijin semata tanpa berperan aktif dalam menawarkan diri untuk ber KB mantap. Hal ini terbukti dengan hasil partisipasi pria dalam program  KB Pria hanya 0,4 % se Kab. Lumajang, sedang se Kec. Lumajang 2,6 %, Kec. Tekung 0,65 % dan se Kelurahan Jogotrunan 2 % serta se Desa Tukum 0,3 %. Alat yang banyak digunakan adalah kondom, bukan kontrasepsi mantap, sehingga peluang untuk terjadi kehamilan yang tidak diinginkan masih cukup luas. Dan hal ini bisa jadi penyebab timbulnya tindakan aborsi/keguguran.
2.       Hak-hak reproduksi perempuan  melalui Keluarga Berencana bisa menjadi solusi untuk menghindari tindakan aborsi karena:
a.       Untuk urusan reproduksi berangsur-angsur menjadi hak bersama antara laki-laki dan perempuan. Hak-hak seksual tidak lagi merupakan hak utama laki-laki, tetapi perempuan juga diberikan hak”meminta” atau “menolak” sesuai dengan kondisi obyektif fisik perempuan. Agar terbebas dari rasa was-was dalam berhubungan intim, maka mayoritas responden rela berkorban untuk mengikuti program KB dengan berbagai resiko dan keluhan serta larangan yang harus dihadapinya.
b.  Sebagai pengemban fungsi dan peran reproduksi, sepantasnya perempuan mendapat-kan jaminan kesehatan seksual dan reproduksi mengingat resiko yang harus diterima-nya, bahkan bisa menyebabkan terjadinya kematian. Kesehatan reproduksi yang dimaksud  mencakup kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dengan kata lain, mencakup keseluruhan fase kehidupan wanita. Hal ini kurang difahami oleh para perempuan, karena berbagai keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki. Hal ini terbukti dengan adanya peristiwa aborsi, dari 50 responden ada 8 responden (16%) yang pernah keguguran, baik yang disengaja atau tidak dapat berdampak kepada ibu, tetapi dalam penelitian yang diperoleh diketemukan bahwa seluruh responden telah memilih tindakan medis untuk menyelesaikan masalah kesehatannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri secara tersembunyi bisa saja mereka sungkan dan takut menyatakan pergi ke dukun atau orang lain yang biasa membantu ataupun dokter dan bidan yang tidak bertanggung jawab, jika hanya memikirkan uangnya tanpa melihat dampak yang panjang dari tindakan aborsi. Kecuali ada alasan lain sesuai dengan Undang-undang Kesehatan.
c.    Anak adalah tanggung jawab bersama suami dan isteri. Maka menentukan apakah se-buah pasangan akan mempunyai anak atau tidak (dengan melakukan rekayasa re-produksi) tidak bisa hanya diputuskan oleh satu pihak (biasanya kaum laki-laki), tetapi perempuan pun berhak meminta atau menolak untuk memiliki keturunan. Apalagi, untuk mendapatkan keturunan melibatkan partisipasi kedua belah pihak. Sesuai hasil pengamatan di lapangan diketemukan dari 50 responden memiliki jumlah anak lahir sebanyak 111 anak, sedangkan yang tidak jadi atau karena keguguran sebanyak 11 anak. Dari 50 responden didapatkan bahwa yang mempunyai anak antara 0-2 anak  sebesar 66%, sedang yang memiliki lebih dari 2 anak sebanyak 34 %. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pasangan suami isteri dalam menentukan jumlah anak sudah mulai memikirkan masa depan agar lebih berkualitas dan sejahtera.
d.    Ada juga responden yang menerapkan Tindakan azl salah satunya karena bisa mengurangi kepuasan perempuan dalam hubungan serta-alasan kemakruhan dan menganggap seorang laki-laki tidak mempunyai hak untuk melakukannya tanpa persetujuan isterinya. Dari sinilah pemakaian alat kontrasepsi KB agar tetap merasakan kepuasan dan menghilangkan kemakruhan maka dianggap yang paling signifikan untuk mencegah terjadinya aborsi jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
E.2. Saran-saran
1.       Bagi  para wanita yang  masih remaja, maupun ibu rumah tangga hendaklah memperhatikan pendidikan dan memahami hak-hak reproduksi perempuan agar dapat terlindungi dari segala macam resiko yang akan dihadapi. Jangan sampai terjadi keguguran atau aborsi baik spontan maupun buatan sebagai akibat adanya kehamilan yang tidak diinginkan, maka secepatnya untuk mengikuti program KB agar bisa mengatur jarak ataupun jumlah anak yang diinginkan sesuai kesepakatan dengan pasangan.
2.   Peningkatan partisipasi pria dalam KB dan Kesehatan Reproduksi bisa diupayakan agar keluhan perempuan dapat terkurangi. Yaitu bisa dengan melalui sikap yang profesional dan ilmiah tersedia dalam melindungi umat untuk  mencapai kehidupan yang baik.
3.       Pemerintah Daerah lebih mengupayakan agar layanan kesehatan yang baik lebih mudah diakses oleh keluarga khususnya kaum perempuan miskin, dengan biaya semurah mungkin.  Dan  dihimbau agar dapat memfasilitasi pelaksanaan wajib belajar 12 tahun di seluruh pelosok tanah air, dengan maksud remaja di usia (10-17 tahun) dapat menikmati pendidikan sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan usia kawin pertama.
-----
DAFTAR PUSTAKA
a.       Buku
Ahnan, M. Batas Kebebasan  Pergaulan Muda Mudi Islam. Bintang Pelajar
……….Dinas Kependudukan, Keluarga Berencana dan Cacatan Sipil Kab. Lumajang, Buku Informasi Kontrasepsi dan Kesehatan Masyarakat
Daldiyono (2007), Pasien Pintar & Dokter Bijak, Buku Wajib Bagi Pasien dan Dokter, dilengkapi Kode Etik Kedokteran dan Undang-undang Praktek Kedokteran. Bhuana Ilmu Populer KelompokGramedia, Jakarta
Dharma S. (ed) (2006) Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press, Malang
Djannah, F. (ect) (2003) Kekerasan Terhadap Isteri, Lkis, Yogyakarta
Fakih M. (1999) Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka  Pelajar, Yogyakarta
Farid, M (ed) Irwan A (Penerjemah) (1999): Perisai Perempuan  Kesepakatan Internasional untuk perlindungan Perempuan (Judul Asli: International Law and the Status of Women. Nathalie KH. Westview Press Inc, (1983). LBH APIK Bekerjasama dengan Ford Foundation, Bogor
Jamal AM (1992) Dialog Tentang Wanita. Pustaka Progressif, Surabaya
Kalibonso RS. (2002) Aborsi Dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, FK UI, Jakarta
Labib (2006), Aneka Problem  Wanita Modern Membahas Berbagai problem  Wanita Dalam Bentuk  Tanya, Jawab, Bintang Usaha Jaya, Surabaya.
Noor FM. (1983) Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia. PT. Al Ma’arif, Bandung
Overholt, C et.al. (1985) Gender Roles un Development Projects: A Case Book. Kumarian Press Inc. Connecticut
Sumiarni, E. dan Tangkilisan, HNS (ed) (2004), Jender dan Feminisme. Yogyakarta, Wonderful  Publishing Company.
Tim Gerbangmas Kabupaten Lumajang, (2006) Pendidikan dan pelatihan “Gerbangmas” (Gerakan Membangun Masyarakat Sehat), Pemkab, Lumajang.
Thalib, S (1986), Hukum Kekeluargaan di Indonesia. UI Press, Jakarta
Umar, N. (2003) Kesetaraan partisipasi Pria dan Wanita Bagi Kesehatan Reproduksi dalam Islam, http://hqweb01. bkkbn.go.id/hqweb/pria/ artikel03-21.html
Wibisono Y. (2003) Menggapai Keluarga Bahagia, Mozaik Keluarga Lumajang, TP. PKK Kab. Lumajang, Lembaga Kajian as-Sakinah (Lekas), Lumajang
“Pedoman Kebijakan Tehnis Upaya Promosi Dan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi” http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/ pkkebijakanteknisprogremhr.html
b.             Jurnal dan Makalah
Purwanti H. (2001) “Bias Gender dalam Hukum Perkawinan”, Jurnal Hukum Argumentum No. 1/Juli-Desember 2001. STIH Jenderal Sudirman, Lumajang.
Purwanti H. (2009) “Pengendalian Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Berencana” (Studi di Kabupaten Lumajang), Jurnal Hukum Argumentum No.2, Juni 2009. STIH Jenderal Sudirman, Lumajang.
Reny AS. (2007) “Kesehatan Bagi Perempuan” Makalah seminar penyadaran Kesehatan Perempuan, Lumajang, 24 Nopember 2007
Rokhmad, A (2005) ”HAM Dan Demokrasi di Era Globalisasi”. Jurnal Hukum Vol XV No.3 Desember 2005, FH Unisula, Semarang.
Nargis (2006) Keluarga: Perannya dalam Mencegah Kehamilan Usia Remaja (10-19 tahun). Warta Demografi Tahun ke -36, No.3, 2006, Jakarta
c.              Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Fokus Media, Bandung
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Arloka, Surabaya
Undang-undang RI Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan HAM Tahun 2001 dilengkapi Keppres Tentang Komisi Hukum Nasional dan Keppres Tentang Komisi Ombutsman Nasional
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan  Dalam Rumah Tangga, Fikus Media, Bandung
d.      Media Massa
Jawa Post, 24 September 2005: 4., Soal Legislasi Praktik Aborsi. Mu’allim
Kompas, Selasa, 29 Januari 2008: 13  Jangan Main Paksa (Meswati ED),  Kesehatan: Jalan Panjang Menuju Masyarakat Sehat (Rachmawati E)
Kompas, Sabtu , 4 Juli 2009: 37. Hak Reproduksi. Bukan Saatnya Memaksa, Pambudi NM

* Dra. Henny Purwanti,MM. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang.