Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 9 No. 1, Desember
2009
ISSN: 1412-1751PENGUATAN HAK REPRODUKSI PEREMPUAN MELALUI KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM UPAYA MENGHINDARI TINDAKAN ABORSI
Oleh:
Henny Purwanti*
ABSTRAK
Upaya
untuk memberikan perlindungan hak-hak reproduksi bagi masyarakat yaitu dengan
mencerminkan salah satu misi Program Keluarga Berdncana Nasional, adalah dalam
rangka mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sejak
dimulainya proses pembuahan dalam
kandungan sampai usia lanjut. Hak-hak reproduksi ini dipandang penting artinya
bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun
rohani sesuai norma-norma hidup sehat.
Kata
Kunci: Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Keluarga Berencana, Tindakan Aborsi.
A.
Latar Belakang
Dalam Islam ada beberapa isue yang sering
diangkat kepermukaan, terutama yang berkaitan dengan isu relasi jender. Salah
satu isu tersebut adalah “Hak-hak Reproduksi Perempuan” di samping tentang
kejadian perempuan, konsep kewarisan, persaksian, aqiqah, diet, peran publik
perempuan, dan konsep superioritas laki-laki. Bila membaca sepintas beberapa
ayat dan Hadist tentang hal tersebut memang mempunyai kecenderungan bahwa Islam
memojokkan perempuan dan mengistimewakan laki-laki. Perempuan selalu diidentikan dengan berbagai peran domestik (reproduktif),
sedangkan laki-laki dikesankan dengan peran-peran di ruang publik (produktif).
Akan tetapi, jika menyimak secara jernih dan mendalam dengan menggunakan metode
semantik, semiotik dan hermeneutik secara kritis, maka justru sebaliknxa,
Islamlah yang pertama kali menggagas konsep keadilan jender dalam sejarah
panjang umat manusia.
Jika dikaitkan dengan program pemerintah, sebagai upaya untuk memberikan
perlindungan hak-hak reproduksi bagi masyarakat adalah mencerminkan salah satu misi Program Keluarga
Berencana Nasional, yaitu dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sejak
dimulainya proses pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Hak-hak
reproduksi ini dipandang penting artinya
bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan individu secara utuh, baik
kesehatan jasmani maupun rohani sesuai dengan norma-norma hidup sehat. Sesuai
dengan ke-sepakatan dalam konferensi internasional kependudukan dan pembangunan
di Cairo, maka hak-hak reproduksi terdiri atas:
1. Hak mendapat informasi dan pendidikan
kesehatan reproduksi;
2. Hak mendapat pelayanan dan perlindungan
kesehatan reproduksi;
3. Hak
untuk kebebasan berpikir dan membuat keputusan tentang kesehatan
re-produksinya;
4. Hak untuk
memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak;
5. Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko
kematian karena kehamilan, kelahiran atau masalah jender;
6. Hak atas kebebasan dan keamanan dalam
pelayanan kesehatan reproduksi;
7. Hak untuk
bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi;
8. Hak mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan
ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi;
9. Hak atas
kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan reproduksinya;
10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga;
11. Hak atas
kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang bernuansa kesehatan reproduksi;
12. Hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam
kesehatan reproduksi.
Akan tetapi
jika dilihat di lapangan menunjukkan bahwa hampir di semua lapisan masyarakat kerapkali terjadi pelanggaran
hak-hak reproduksi. Kasus- kasus pelecehan seksual, pemaksaaan dalam pemakaian
alat kontrasepsi, kekerasan terhadap wanita, baik oleh suami atau orang lain,
sering tidak dilaporkan oleh para korban, karena rendahnya pengetahuan mereka
tentang hak-hak yang dimilikinya. Atau mereka tidak tahu kemana mereka akan
mengadu atau mencari perlindungan atas segala bentuk pelanggaran hak yang
dialaminya.
Mengenai kesehatan reproduksi bagi
perempuan, khususnya menyangkut kehamilan sekaligus untuk mencegah aborsi,
sebenarnya telah diakukan oleh para
cerdik pandai terdahulu, termasuk para ulama Islam zaman pertengahan. Fakta berbicara bahwa aborsi telah dilakukan oleh
2.300.000 (dua juta tiga ratus ribu) perempuan (Kompas, 3 Maret 2000) menurut
data WHO terdapat 15% - 50% kematian ibu
disebabkan oleh aborsi tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun,
ditemukan 70.000 perempuan yang
meninggal dunia (Sururin dkk. 2002: V)
Karena banyaknya kasus yang sangat
mengerikan tersebut juga berada di lingkungan masyarakat sekitar maka dapat
dikaji secara lebih dalam lagi mengenai Penguatan hak reproduksi perempuan
melalui ber keluarga berencana untuk mencegah tindakan aborsi. Utamanya bagi
masyarakat yang ada di Wilayah Kabupaten Lumajang. Tepatnya di Kecamatan Tekung
dan Kecamatan Lumajang.
Oleh karena itu untuk mencegah kehamilan
yang tidak diinginkan dapat diatasi dengan
keikut sertaan wanita dalam berkeluarga berencana. Akan tetapi hal ini
dirasa belum adil. Mengapa yang harus ikut program keluarga berencana mayoritas
perempuan? Padahal wanita yang seharusnya diilindungi yang justru masih banyak
yang mengorbankan dirinya demi keluarga dan kesejahteraan keluarga melalui
kesediaan mengkonsumsi berbagai produk alat-alat kontrasepsi untuk para wanita.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, maka perlu untuk diidentifikasikan
beberapa permasalahan dalam penelitian ini antara lain:
1.
Bagaimana
keluhan yang dirasakan para perempuan yang mengkonsumsi alat kontrasepsi dan
dengan kesetaraan jender adakah perhatian dari para laki-laki?
2. Mengapa
hak reproduksi perempuan melalui Keluarga Berencanan bisa menjadi solusi untuk
menghindari tindakan aborsi?
C.
Landasan Teori
C.1.
Hak-hak Reproduksi Perempuan
Hak reproduksi secara umum adalah hak yang
dimiliki oleh individu baik pria maupun wanita yang berkaitan dengan keadaan
reproduksinya. Hak reproduksi terkait dengan hak asasi manusia yang melekat
pada manusia sejak lahir. Ini berarti makna bahwa pelanggaran terhadap hak
reproduksi berarti pelanggaran terhadap
hak asasi manusia. Dalam hak reproduksi seseorang maka di dalamnya terkandung juga kewajiban. Artinya bila
seseorang telah mengetahui haknya
seharusnya mengetahui kewajibannya yang berkaitan dengan hak reproduksi
tersebut. Dengan mengetahui hak dan kewajiban tersebut maka seseorang dapat berperan aktif untuk melakukan
pemantauan terhadap pelanggaran hak-hak reproduksi.
Berdasarkan hasil konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994 ada 12 macam hak
reproduksi bagi pria maupun wanita, yaitu:
1.
Hak
mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak
mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai
aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi; antara lain mengenai
berbagai metode kontrasepsi. Termasuk perihal kelebihan dan keterbatasan dari
masing-masing metode kontrasepsi.
2.
Hak
mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi. Setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan terkait dengan
kehidupan reproduksinya termasuk terhindar dari kematian akibat proses
reproduksi.
3.
Hak
untuk kebebasan berpikir tentang kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk
berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang kehidupan reproduksi yang
diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh menyebabkan
terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat saja berupaya
merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan pemaksaan,
melainkan dengan melalui KIE atau
advokasi. Contoh: seorang suami dapat saja mempunyai pikiran bahwa segala yang
berhubungan dengan reproduksi seperti bahwa segala yang berhubungan dengan
reproduksi seperti penggunaan kontrasepsi, kehamilan, menyusui, dan melahirkan
semata-mata urusan wanita (isteri). Upaya merubah pikiran atau keyakinan
tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan
setelah mempertimbangkan berbagai aspek manfaat dan kerugian yang diperoleh
dari penyampaian informasi dan advokasi tentang KB dan kesehatan reproduksi.
4.
Hak
untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran. Setiap orang berhak untuk
menentukan jumlah anak yang dimiliki serta jarak kelahiran yang diinginkan.
Dalam konteks dengan program KB dan Kesehatan Reproduksi, pemerintah dan
masyarakat tidak boleh melakukan
pemaksaaan jika seseorang ingin memiliki anak dalam jumlah yang besar
dengan tidak ikut menggunakan alat kontrasepsi. Yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya
dan sebenar-benarnya mengenai untung ruginya memiliki jumlah anak banyak
ditinjau dari berbagai aspek ekonomi, pendidikan, dan sosial, sehingga kemudian
mereka akan menentukan memiliki jumlah
anak yang ideal.
5.
Hak untuk
hidup (Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses
melahirkan). Setiap wanita (isteri) yang hamil dan akan melahirkan berhak
mendapatkan perlindungan, dalam arti mendapatkan bantuan dan pelayanan
kesehatan yang baik sehingga terhindar dari kemungkinan kematian dalam proses
kehamilan dan melahirkan, serta mendapat perhatian dan perlindungan dari suami
dan keluarga.
6.
Hak
atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Hak ini
terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri kehidupan
reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Dalam konterks adanya hak tersebut,
maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak terjadi pemaksaan atau
pengucilan atau munculnya ketakutan
dalam diri individu karena memiliki hak kebebasan.
7.
Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan
buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan
seksual. Seseorang terutama wanita berhak mendapatkan perlindungan dari
kemungkinan berbagai perlakuan buruk seperti perkosaan, kekerasan, penyiksaan
dan pelecehan seksual. Berbagai perlakuan butuk tersebut sangat berpengaruh
pada kehidupan reproduksi seorang
wanita. Perkosaan misalnya dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan
maupun keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau tindakan kekerasan lainnya
dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis yang kemudian dapat saja
berpengaruh pada kehidupan
reproduksinya.
8.
Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu
pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk
mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait dengan kesehatan reproduksi, misalnya
mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya, serta
kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan berkualitas yang berhubungan dengan
kesehatan reproduksi (misal: alat kontrasepsi baru)
9.
Hak
atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya. Setiap individu harus
dijamin kerahasiaan kehidupan kesehatan reproduksinya, seperti jenis alat
kontrasepsi yang dipergunakan, informasi kehidupan seksual, masa menstruasi,
penyakit yang berhubungan dengan
reproduksi dan lain sebagainya. Petugas atau seseorang yang memiliki
informasi tersebut tidak boleh membocorkan atau dengan sengaja memberikan
informasi yang dimilikinya kepada orang lain.
10.
Hak
membangun dan merencanakan keluarga. Setiap individu dijamin haknya: kapan,
dimana, dengan siapa, dan cara bagaimana ia akan membangun keluarganya. Tentu
saja kesemuanya ini tidak terlepas dari norma agama, sosial, dan budaya yang
berlaku dalam masyarakat.
11.
Hak
kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya baik melalui pernyataan pribadi
atau melalui suatu kelompok atau partai politik yang berkaitan dengan kehidupan
reproduksi. Misalnya: seorang menyuarakan pertentangan atau persetujuan
terhadap aborsi, atau menyuarakan penentangan atau persetujuan terhadap
penggunaan salah satu metode kontrasepsi. Yang perlu diperhatikan adalah dalam
menyampaikan pendapat atau aspirasi tersebut harus memperhatikan azas demokrasi
dalam arti tidak boleh memaksakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain
serta taat pada hukum dan peraturan yang berlaku.
12.
Hak
untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan
kehidupan reproduksi. Setiap orang tidak boleh mendapat perlakuan diskriminatif
berkaitan dengan kesehatan reproduksi karena kondisi sosial ekonomi serta
keyakinannya. Misalnya orang tidak mampu harus mendapat pelayanan kesehatan
reproduksi yang berkualitas sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Demikian
pula seseorang tidak boleh mendapatkan perlakuan pelayanan kesehatan yang
berbeda, hanya karena ia mempunyai keyakinan yang berbeda (BKKBN, 2006: 17-21)
Menurut
pendapat yang disampaikan oleh Masdar F. Mas’udi mengkategorikan hak-hak
kaum perempuan sebagai pengemban fungsi reproduksi menjadi tiga hal, yaitu:
Pertama, hak jaminan keselamatan dan kesehatan. Hak ini mutlak mengingat resiko sangat besar yang bisa terjadi pada
kaum ibu dalam menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, mulai dari menstruasi,
berhubungan seks, mengandung. Melahirkan dan menyusui. Dalam menjalani Keluarga Berencana (KB) misalnya belum tentu alat
kontrasepsi yang digunakan cocok bagi kondisi fisik dan kesehatannya.
Sementara masyarakat tahu tidak ada satu alat kontrasepsi, terutaman yang
hormonan (Suntik, Susuk, atau pil) yang seratus persen aman bagi kesehatan. Begitu juga spiral, jika tidak
hati-hati atau tidak cocok, bisa membawa akibat pada kesehatan.
Kedua, hak jaminan kesejahteraan, bukan saja
selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan dan menyusui)
berlang-sung, tapi juga di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai isteri dan ibu dari
anak-anak, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an “Di atas pundak ayah terletak
tanggung jawab memberikan nafkah dan perlindungan bagi ibu anak-anaknya secara
makruf” (Q.S.al-Baqarah/2: 233)
Ketiga, hak ikut mengambil keputusan yang
menyangkut kepentingan perempuan (isteri) khususnya yang berkaitan dengan
proses-proses reproduksi. Hak kategori ketiga ini dapat dipahami dari ayat
al-Qur’an tentang bagaimana suatu keputusan yang menyangkut pihak-pihak terkait
dalam lingkup apapun harus diambil secara musyawarah; “Urusan mereka haruslah
dimusyawarahkan (dibicarakan dan diambil keputusan) di antara mereka” (Q.S.
al.Syura/42: 38).
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 49:
Ayat
2: dinyatakan bahwa wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
Ayat
3: dinyatakan bahwa Hak Khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Adapun yang dimaksud dengan
“perlindungan khusus terhadap
fungsi repro-duksi” adalah pelayanan
kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian
kesempatan untuk menyusui anak (UU RI tentang Pengadilan HAM dan HAM, Tahun
2001: 99).
Sesungguhnya gerakan feminisme bukanlah
gerakan semata-mata menyerang laki-laki,
tetapi merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, serta
citra patriarkal bahwa perempuan itu pasif, tergantung dan enferior. Sehingga,
transformasi gender sebagai jalan menuju transformasi sosial yang lebih luas,
harus merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidak adilan, penindasan, dominasi
dan diskriminasi: sebagai hubungan yang saling terkait, yang meliputi hubungan ekonomi, sosial, kultural,
ideologi, lingkungan dan termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan sebagai warga negara, mereka
mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan negaralah yang berkewajiban
menyediakannya. Hal ini termaksud di dalam Konvensi tentang pernghapusan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan pasal 12 tentang konvensi perempuan dan
undang-undang kesehatan.
C.2.
Berbagai Jenis Alat Kontrasepsi KB
Kontrasepsi
/Alokon.
Kontrasepsi adalah suatu alat, obat
atau cara yang digunakan untuk mencegah terjadinya konsepsi atau pertemuan antara sel telur
dengan sperma di dalam kandungan/ rahim (Alokon). Cara kerja alokon: 1)
Mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi; 2) Melumpuhkan sperma; dan 3)
Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma.
Alokon untuk Wanita antara lain: 1) IUD
(Pasang spiral, suntik angin, AKDR, tutul); 2) Implant/Norplant (Susuk KB,
AKBK/Alwalit); 3) Pil; 4) Suntik; 5) Tissu/In Romantika; 6) Obat vaginal; 7)
Diafragma; 8) Jelly; 9) Kontap/MOW/Steril; dan 10) Kondom wanita
Sedangkan alokon untuk Pria adalah: 1) Pil
KB pria (Uji coba); 2) Suntik KB pria (Uji coba); 3) Kondom (Karet KB, sarung
KB, kondom 25, sarman); 4) Kontap (MOP); dan 5) Sanggama terputus (Cotus
interptus, azaal, cengkir). Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi (KBKR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat,
Dr. Siswanto Agus Wilopo, SU., MSc., Sc.D. mengemukakan bahwa setiap tahun, di
Indonesia diperkirakan terjadi dua juta
– dua juta enam ratus ribu kasus aborsi, atau terjadi 43 aborsi untuk setiap
100 kehamilan, 30 % diantaranya diperkirakan dilakukan oleh penduduk usia 15 –
24 tahun.
Dengan melihat kejadian-kejadian yang
ada dalam masyarakat penulis merasa
terharu sekaligus prihatin dengan kondisi dan peristiva yang dialami oleh para
wanita, dimanapun berada semoga tidak bertambah lagi kasus-kasus yang menimpa calon generasi baru di masa
mendatang.
Sebagai bahan ilmu pengetahuan para wanita
perlu memahami berbagai konsep baik dari bidang agama, hukum, sosial dan
susila, sekaligus memahami Norma Keluarga Kecil Sehat Sejahtera melalui
keikutsertaannya dalam pemakaian alat kontrasepsi/alokon. Baik alokon untuk
wanita maupun alokon untuk pria perlu dijadikan bahan pertimbangan.
Kebahagiaan menurut isinya adalah suatu
keadaan sejahtera (well being) yang seharusnya ada pada manusia (K.
Bertens dalam Daldiyono, 2007: 208). Definisi asli dari Aristoteles mengenai
kebahagiaan yaitu keadaan manusia dimana manusia itu “men-cukupi pada dirinya
sendiri (self-suficient) yang pada dirinya menjadikan sesuatu
di-inginkan (desirable) dan tidak memiliki kekurangan sama sekali”
(Embun Kenyowati). Sehat dan bahagia disatukan dalam konsep kualitas sehat.
Sehat yang berkualitas sehat. Sehat yang berkualitas dapat berarti sehat tanpa
adanya penyakit sama sekali atau sehat bersyarat, yaitu meskipun tubuh mengidap
penyakit, fungsi tubuh secara keseluruh-an masih berlangsung dalam situasi
harmonis.
Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus
diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh
masyarakat melalui penyelenggaraan Keluarga Berencana sebagai salah satu upaya
untuk mencegah tindakan aborsi serta dalam rangka mencapai tujuan sesuai dengan
program pemerintah yaitu terbentuklnya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
(NKKBS).
C.3.
Aborsi Antara Kesehatan, Hukum dan Agama
Kata aborsi berasal dari bahasa
Inggris, yaitu abortion, yang berarti: gugur kandungan atau keguguran.
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (Oleh akibat –akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut
mampu untuk hidup di luar kandungan. Definisi
medis mengarti-kan aborsi sebagai berakhirnya suatu kehamilan sebelum viability,
yaitu sebelum janin mampu hidup sendiri di luar kandungan, yang diperkirakan
usia kehamilannya di bawah usia 20 minggu (WHO). Definisi tersebut jelas bahwa
perbuatan aborsi dilakukan terhadap janin yang tidak dapat hidup di luar
kandungan. Abortus dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Abortus
spontan (spontaneus abortion/ijhad al-zati);
2.
Abortus
buatan (Provocatus/ijhad ikhtiyani)
Abortus spontan yang oleh ulama disebut dengan isqath
al-afw adalah abortus yang tidak disengaja/terjadi secara alamiah tanpa
adanya upaya-upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut.
Dalam beberapa kepustakaan, terminologi
yang paling sering digunakan untuk hal
ini adalah keguguran (miscarriage). Aborsi spontan bisa terjadi karena
penyakit, kecelakaan, terlalu capek dan sebagainya. Hukum dari aborsi tersebut
dima’afkan atau tidak menimbulkan akibat hukum.
Sedangkan abortus buatan adalah abortus yang
terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan.
Istilah yang sering digunakan untuk peristiwa ini adalah aborsi, pengguguran,
atau abortus provocatus/ijhad ikhtiyani. Atau abortus yang disengaja
terbagi dalam dua macam:
1.
Aborsi
artificialis Therapicus,
yaitu aborsi yang dilakukan oleh seorang dokter atas dasar indikasi medis sebelum janin lahir secara
alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan
dipertahankan. Aborsi ini di kalangan ulama disebut dengan isqath al-dharury (aborsi darurat)
atau isqath al-‘Ilajiy (aborsi pengobatan).
2.
Aborsi
Provocatus Criminal, yaitu
penggunguran kandungan yang dilakukan tanpa indikasi medis, atau ada sebab yang
membolehkan sebelum masa kelahiran tiba.
Aborsi bentuk kedua ini biasa disebut dengan isqath al-ikhtiyari (aborsi
yang disengaja). Tindak aborsi yang
disengaja tersebut bisa disebabkan oleh
beberapa alasan, antara lain: kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin
mempunyai keluarga besar, kekhawatiran janin yang ada dalam kandungan akan
hadir dalam keadaan cacat, hamil di luar nikah (Sururin dkk, 2002: vi)
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi
seorang wanita untuk melakukan aborsi, antara lain:
-
Kehamilan
akibat hubungan seks di luar perkawinan
yang sah termasuk pemerkosaan;
-
Kehamilan
yang tidak dikehendaki karena jarak kehamilan yang tidak teratur;
-
Kehamilan yang dapat mengancam jiwa si ibu;
-
Beban psikologis yang belum mampu menerima
kehadiran seorang anak;
-
Secara ekonomis tidak mampu menanggung beban
biaya kehidupan seorang bayi;
-
Alasan
untuk menjaga dan mempertahankan kebugaran dan kecantikan.
Banyak cara yang dilakukan orang di dalam
melakukan aborsi. Menurut Eckholm (dalam Nasaruddin Umar dengan judul Aborsi
dalam Pandangan Agama-agama Samawi 2002: 76) mengemukakan bahwa ada 4
(empat) hal yang sering dilakukan dalam
melakukan aborsi, yaitu:
1.
Menggunakan
jasa medis di rumah sakit atau tempat-tempat praktek;
2.
Menggunakan
jasa dukun pijat;
3.
Menggugurkan
sendiri kandungannya dengan alat-alat kasar; dan
4.
Menggunakan
obat-obatan tertentu.
Kehamilan yang diperoleh melalui pasangan
suami-isteri yang sah lebih banyak menggunakan jasa yang pertama, sedangkan
kehamilan sebagai hasil hubungan gelap pada umumnya menggunakan cara ke dua, ke
tiga `tau ke empat.
D.
Hasil Analisis dan Pembahasan
1.
Dari hasil rekapitulasi peserta KB aktif keadaan bulan Januari 2009 s.d.
Agustus 2009 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1.
Hasil Pencapaian KB Aktif keadaan Bulan
Januari s.d. Agustus 2009
Di Kelurahan Jogotrunan dan di Desa Tukum.
No
|
Jenis Alokon
|
Kel. Jogotrunan
|
Ds. Tukum
|
Total
|
% Total
|
1
2
3
4
|
Pencapaian PA MKEJ:
- IUD
- KP
- KW
- IMPL
|
52
3
17
48
|
60
5
15
57
|
112
8
32
105
|
3,8
0,3
1,1
3,6
|
Jumlah
|
120
|
137
|
257
|
8,8
|
|
5
6
7
|
Pencapai PA Non MKEJ:
- Suntik
- Pil
- KDM
|
870
414
26
|
665
697
-
|
1.535
1.111
26
|
52,4
37,9
0,9
|
Jumlah
|
1.310
|
1.362
|
2.672
|
91,2
|
|
Total SM
|
1.430
|
1.499
|
2.929
|
100
|
|
8
|
Jumlah PUS
|
1.526
|
1.729
|
3.255
|
Sumber:
Data skunder dari pengurus Kel. Jogotrunan dan Desa Tukum Agustus 2009
Secara keseluruhan total data
tersebut di atas dapat diperoleh hasil bahwa pencapaian peserta aktif MKEJ
hanya 8,8 %, dengan data terbesar adalah pengguna metode IUD sebesar 3,8 %, dan
yang sedikit adalah metode KP hanya 0,3 %. Sedangkan pencapaian PA Non MKEJ
sebesar 91,2 % dengan peserta terbanyak
adalah Suntik sebesar 52,4 % dan yang paling sedikit adalah pengguna kondom
hanya 0,9 % dari total SM sebesar 2.929 orang peserta. Hal ini menunjukkan
bahwa peran serta wanita dalam ber-KB di dua wilayah tersebut sebesar 98,8 %
sedang peran serta pria hanya 0,3 % + 0,9 % = 1,2 %. Dan untuk jumlah pasangan
usia subur secara total sebanyak 3.255 orang dengan total semua metode KB sebanyak
2.929 orang (90%) berarti yang tidak
mengikuti program KB sebanyak 326 orang (10 %).
Dari data tersebut juga dapat dilihat bahwa
di Kel. Jogotrunan, Kec. Lumajang hasil pencapaian peserta KB MKEJ terbesar
adalah memakai metode IUD sebanyak 52 orang (3,6 %) dan yang sedikit pesertanya
yaitu KP hanya 3 orang (0,2 %), sedangkan yang memakai program Non MKEJ
terbanyak yaitu suntik 870 peserta (60,8 %), yang sedikit pemakai kondon hanya
26 orang (1,8 %). Berarti tingkat partisipasi pria di Kelurahan Jogotrunan,
Kecamatan Lumajang sebesar 2 %. Dan partisipasi wanita 98 % dari total semua
metode (SM) sebanyak 1.430 peserta. Dan untuk jumlah pasangan usia subur di
Kelurahan Jogotrunan sebanyak 1.526 orang yang ikut KB 1.430 orang (93,7 %)
berarti yang tidak/ belum ikut KB
sebanyak 96 orang (6,3 %), dengan rincian bahwa ada 43 orang ibu hamil,
ada yang tidak ingin mempunyai anak lagi sebanyak 14 orang, ada yang
berkeinginan segera punya anak karena masih pasangan pengantin baru maupun yang
lama sebanyak 24 orang , sedangkan ada 15 pasangan yang ingin anak tapi
ditunda, berarti dia sudah pernah ber KB kemudian di hentikan sementara..
Hasil pencapaian peserta aktif KB di Desa
Tukum, Kecamatan Tekung untuk program MKEJ yang paling banyak digunakan adalah
IUD yaitu sebanyak 60 peserta (4 %), dan
yang sedikit KP hanya 5 peserta (0,3 %), sedangkan yang memakai program Non MKEJ yang banyak adalah pemakai
pil sebanyak 697 peserta (46,5 %), dan untuk alokon yang tidak ada penggunanya
adalah kondom. Berarti partisipasi pria di Desa Tukum, Kecamatan Tekung sebesar
0,3 % dan wanitanya 99,7 % atau mayoritas wanita yang paling banyak
mengkonsumsi alokon KB. Dari total semua metode (SM) sebanyak 1.499
peserta. Dan untuk jumlah pasangan usia
subur (PUS) di Desa Tukum sebanyak 1.729 orang, yang mengikuti program KB sebanyak
1.499 orang (82,7%) berarti yang tidak mengikuti program KB sebanyak 230 orang
(13,3%)
Ternyata dilihat dari jumlah prosentase
ketidakikutsertaan KB dari kedua wilayah penelitian tersebut menunjukkan bahwa
di Kelurahan Jogotrunan lebih banyak yang ikut program KB yaitu sebanyak 90 %
jika dibanding dengan wilayah di Desa Tukum hanya (82,7%). Hal ini menunjukkan
bahwa di Wilayah pedesaan masih dibutuhkan adanya peningkatan dan pembinaan
pendidikan serta pemahaman tentang pentingnya keluarga berencana, serta
kesehatan bagi wanita.
Adapun hasil prevalensi peserta di Desa
Tukum adalah semua metode (SM) dibagi PUS kali 100 diperoleh hasil sebagai berikut: 1.499/1.729 X 100 =
86,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk mengikuti berbagai
program keluarga berencana sudah baik, walaupun masih ada masyarakat yang masih
meragukan keberhasilan dan kecocokan dengan budayanya. Dari 230 orang (13,3 %)
PUS yang tidak mengikuti program KB
dapat dibayangkan jika terjadi kelahiran yang tidak diinginkan, entah itu
karena alasan apapun hal ini yang bisa menjadi tugas bersama dalam menjalin
kerjasama dengan petugas BKKBN dan pihak terkait lainnya dalam mensukseskan
program KB agar tidak terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan tersebut. Seperti aborsi yang tidak aman, serta
timbulnya kematian ibu dan anak.
Jika dikaitkan dengan besarnya peranserta
pria dan wanita, maka penemuan ini sangat berbeda dengan hasil rekap secara
menyeluruh data pencapaian peserta KB tergantung wilayah, kemauan dan kemampuan
ekonomi, sosial dan budayanya. Hal ini
dapat dibandingkan bahwa tingkat partisipasi pria se Kabupaten Lumajang hanya
sebesar 0,4 %, tapi di Kecamatan
Lumajang sebesar 2,6 %, dan di Kecamatan Tekung sebesar 0,65 %. Sedangkan total
perolehan dari dua wilayah penelitian yaitu Kel. Jogotrunan dan Ds. Tukum sebesar
1,2 %, dan secara khusus untuk wilayah Kelurahan Jogotrunan 2 % yang banyak adalah penggunaan kondom dan
di Desa Tukum 0,3 % tapi hanya Kontrasepsi Pria (KP) saja, tidak ada yang
mengkonsumsi kondom sama sekali.
Terkait pengalaman responden dalam penggunaan
alat kontrasepsi dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.
Pengalaman
Responden Dalam Menggunakan
Beberapa Alat
Kontrasepsi Selama Perkawinan
NO
|
Jenis Alokon
|
Kel Jogotrunan
|
Ds. Tukum
|
Jumlah
|
%
|
1
2
3
4
5
6
7
|
Pil
Suntik
Implan
IUD
Kondom
Kontap/MOW
Kontap/MOP
|
9
15
1
7
4
3
-
|
7
14
7
6
-
2
-
|
16
29
8
13
4
5
-
<.td>
|
21,3
38,7
10,7
17,3
5,3
6,7
|
39
|
36
|
75
|
100
|
Sumber: Data primer yang telah diolah 2009.
Berdasarkan data tersebut di atas dapat
dilihat bahwa lebih dari 50 % responden telah menggunakan alat kontrasepsi
sebanyak 2 sampai 3 jenis, karena dari 45 pengalaman responden diketemukan
sebanyak 75 penggunaan alat kontrasepsi. Hal ini terlihat dari metode Suntik
yang menggunakan sebanyak 29 responden (38,7 %) dari 73 jenis alat kontrasepsi
yang dipergunakan. Yang paling rendah adalah pengguna alat kontrasepsi kondom,
yaitu hanya 5,3 %. Ternyata untuk alat kontrasepsi mantap untuk Pria sama
sekali tidak ada yang menggunakan. Hal ini membuktikan bahwa partisipasi pria
sangat minim dalam program Keluarga Berencana. Utamanya terhadap hasil analisis terhadap responden
dalam pengamatan saat ini.
Adapun alasan-alasan para responden
untuk melakukan pergantian alat kontra sepsi bermacam-macam: antara lain ada
yang menyatakan karena tidak cocok,
dengan menggunakan pil badan tambah gemuk, kepala sering pusing. Ada yang
menyatakan karena menggunakan suntik KB maka mestruasinya tidak lancar, badan
pegal-pegal, ada yang menyatakan karena memakai knndom tidak puas, seperti
bukan dengan suami sendiri. Ada yang menyatakan sakit karena ada barang yang
dimasukkan ke vagina, yaitu spiral dan bahkan ada yang hamil walaupun sudah
memakai IUD, sehingga oleh Bidan dikuiret, karena dianggap sebagai kegagalan
alokon, berarti terjadi aborsi karena terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan tersebut sering dialami oleh para ibu rumah tangga.
2.
Kejadian Aborsi yang dialami Responden
Sesuai dengan teori yang ada bahwa
masalah aborsi adalah masalah yang sangat pribadi yang sulit untuk digali
kebenaran dan kejujuran dari para pelaku, sehingga peneliti harus lebih jeli
dan tanggap atas segala cerita yang disampaikan pada waktu wawancara agar tidak
menyinggung perasaan pelaku.
Sesuai dengan hasil pencarian data
yang dapat diceritakan oleh masing-masing responden yang mengalami keguguran di
Kelurahan Jogotrunan dan di Desa Tukum sebanyak 8 orang (16 %) dari 50
responden yang mengalami keguguran, dengan alasan kegagalan KB, keteledoran,
karena jatuh, karena kecapaian, hamil di luar kandungan dan ada yang tidak
menjelaskan alasannya. Dari 8 orang yang pernah mengalami keguguran ada yang
sampai tiga kali dikuiret dengan alasan yang berbeda-beda. Jadi dari ke 50
responden jika dijumlah kelahiran yang tidak diinginkan sebesar 10 calon
embrio/bayi (20 %) adalah kehamilan yang mengalami kegagalan. Baik keguguran
yang spontan (alami) maupun keguguran yang dibuat. Yang kesemuanya itu pasti
beresiko pada ibu dan anak. Apalagi dampaknya terhadap perkembangan ibu yang
telah mengalami keguguran biasanya timbul berbagai macam trauma.
Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi seseorang melakukan aborsi, diantaranya: kelahiran anak yang tidak direncanakan atau kehamilan yang
tidak dikehendaki, baik hasil hubungan seks di luar nikah, termasuk
pemerkosaan, maupun hasil hubungan seks lewat perkawinan yang sah; faktor
kesehatan, karena penyakit tertentu yang diderita oleh sang ibu yang dapat
membahayakan jiwa misalnya; faktor kecantikan, dengan pemahaman bahwa melahirkan dapat mempengaruhi
kecantikan dan keseksian seorang wanita; faktor ekonomi, yaitu ketidakmampuan
si ibu menanggung biaya kelangsungan kehidupan
sang bayi, dan lain sebagainya. Dari hasil wawancara diketemukan bahwa
mayoritas responden mengemukakan pemeriksaan kehamilan dan kelahiran anak
dilakukan di Rumah Sakit, ke Dokter, Bidan di Posyandu dan Puskesmas.
3. Peran serta Suami dalam
mengikuti program KB Mantap dan Alasannya.
Dari data responden yang diperoleh
ternyata untuk kontrasepsi mantap pria (MOP) tidak ada sama sekali yang
bersedia menjadi akseptor. Akan tetapi jika dilihat dalam data se Kelurahan
Jogotrunan dan se Desa Tukum sendiri ada 8 pria
yaitu 3 orang dari Kel.
Jogotrunan dan 5 pria dari Desa Tukum
yang berpartisipasi untuk menggunakan kontrasepsi mantap (MOP). Setelah
ditelusuri ditemukan alasan dari pengantar peserta KB yaitu menurut petugas
Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa(PPKBD)
dari Kelurahan Jogotrunan menyampaikan bahwa ada yang menyatakan
bersedia ikut KB Pria karena anaknya sudah banyak yaitu sejumlah 9 orang, kemudian ada yang mau KB karena
isterinya sudah tua dia masih muda, ada yang menyatakan sanggup ikut kontap
karena dua isterinya masing-masing sudah punya 3 anak, jadi jumlah anaknya 6
orang dari kedua isterinya. Ada juga yang tidak bersedia memberikan alasan,
tapi hanya tertawa saja jawabnya.
Rata-rata para suami hanya bersedia
mengantar dan memberikan ijin kepada isteri dalam menggunakan alat kontrasepsi,
akan tetapi jika diajak untuk mengikuti program Keluarga Berencana selalu
mengatakan bahwa itukan tugas wanita. Padahal secara hukum wanita dan pria
sama-sama memiliki hak yang sama dalam kebebasan berfikir, memilih alat
kontrasepsi dan memprogram jarak waktu kelahiran anak, serta mendidik dan
memelihara kesehatan keluarga.
Hal ini menunjukkan bahwa sampai
saat ini hasil penemuan terhadap respoden di Kelurahan Jogotrunan maupun di
Desa Tukum masih mengarah bahwa partisipasi laki-laki sangat minim, dibanding
dengan keikutsertaan metode kontrasepsi wanita yang hampir 98 %.
E. Penutup
E.1. Kesimpulan
Berdasarkan
seluruh paparan yang telah disajikan dalam analisis dan pembahasan, maka
kesimpulan yang dapat diperoleh adalah :
1.
Banyak
sekali keluhan yang dialami dan dirasakan oleh para perempuan yang mengkonsumsi
alat seperti tidak cocok dengan program KB yang menjadi pilihannya, sehingga
perlu mencoba metode lain dalam program KB yang ditawarkan. Mulai dari
pengalaman mengkonsumsi pil ternyata berdampak gemuk, kemudian suntik katanya
suka pusing, ada yang mengeluh pendarahan dan menstruasi tidak normal, yang
mengkonsumsi susuk KB/Implan ada yang tidak menstruasi sama sekali, kemudian
tubuh sakit semua, ada yang pakai IUD ternyata hamil juga, ada yang menyatakan
terganggu waktu bersenggama, dan untuk kondom jarang sekali yang merasa puas,
karena merasa seperti bukan suaminya. Adapun perhatian dari para suami selaku
pasangan kebanyakan hanya bersedia mengantarkan kalau isteri akan ber KB dan
memberikan ijin semata tanpa berperan aktif dalam menawarkan diri untuk ber KB
mantap. Hal ini terbukti dengan hasil partisipasi pria dalam program KB Pria hanya 0,4 % se Kab. Lumajang, sedang
se Kec. Lumajang 2,6 %, Kec. Tekung 0,65 % dan se Kelurahan Jogotrunan 2 %
serta se Desa Tukum 0,3 %. Alat yang banyak digunakan adalah kondom, bukan
kontrasepsi mantap, sehingga peluang untuk terjadi kehamilan yang tidak
diinginkan masih cukup luas. Dan hal ini bisa jadi penyebab timbulnya tindakan
aborsi/keguguran.
2.
Hak-hak
reproduksi perempuan melalui Keluarga
Berencana bisa menjadi solusi untuk menghindari tindakan aborsi karena:
a. Untuk urusan reproduksi berangsur-angsur
menjadi hak bersama antara laki-laki dan perempuan. Hak-hak seksual tidak lagi
merupakan hak utama laki-laki, tetapi perempuan juga diberikan hak”meminta”
atau “menolak” sesuai dengan kondisi obyektif fisik perempuan. Agar terbebas
dari rasa was-was dalam berhubungan intim, maka mayoritas responden rela
berkorban untuk mengikuti program KB dengan berbagai resiko dan keluhan serta
larangan yang harus dihadapinya.
b. Sebagai pengemban fungsi dan peran
reproduksi, sepantasnya perempuan mendapat-kan jaminan kesehatan seksual dan
reproduksi mengingat resiko yang harus diterima-nya, bahkan bisa menyebabkan
terjadinya kematian. Kesehatan reproduksi yang dimaksud mencakup kesehatan fisik, mental, dan sosial.
Dengan kata lain, mencakup keseluruhan fase kehidupan wanita. Hal ini kurang
difahami oleh para perempuan, karena berbagai keterbatasan pengetahuan dan
informasi yang dimiliki. Hal ini terbukti dengan adanya peristiwa aborsi, dari
50 responden ada 8 responden (16%) yang pernah keguguran, baik yang disengaja
atau tidak dapat berdampak kepada ibu, tetapi dalam penelitian yang diperoleh
diketemukan bahwa seluruh responden telah memilih tindakan medis untuk
menyelesaikan masalah kesehatannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri secara
tersembunyi bisa saja mereka sungkan dan takut menyatakan pergi ke dukun atau
orang lain yang biasa membantu ataupun dokter dan bidan yang tidak bertanggung jawab,
jika hanya memikirkan uangnya tanpa melihat dampak yang panjang dari tindakan
aborsi. Kecuali ada alasan lain sesuai dengan Undang-undang Kesehatan.
c. Anak adalah tanggung jawab bersama suami dan
isteri. Maka menentukan apakah se-buah pasangan akan mempunyai anak atau tidak
(dengan melakukan rekayasa re-produksi) tidak bisa hanya diputuskan oleh satu
pihak (biasanya kaum laki-laki), tetapi perempuan pun berhak meminta atau
menolak untuk memiliki keturunan. Apalagi, untuk mendapatkan keturunan melibatkan
partisipasi kedua belah pihak. Sesuai hasil pengamatan di lapangan diketemukan
dari 50 responden memiliki jumlah anak lahir sebanyak 111 anak, sedangkan yang
tidak jadi atau karena keguguran sebanyak 11 anak. Dari 50 responden didapatkan
bahwa yang mempunyai anak antara 0-2 anak
sebesar 66%, sedang yang memiliki lebih dari 2 anak sebanyak 34 %. Hal
ini menunjukkan bahwa perhatian pasangan suami isteri dalam menentukan jumlah
anak sudah mulai memikirkan masa depan agar lebih berkualitas dan sejahtera.
d. Ada juga responden yang menerapkan Tindakan
azl salah satunya karena bisa mengurangi kepuasan perempuan dalam hubungan
serta-alasan kemakruhan dan menganggap seorang laki-laki tidak mempunyai hak
untuk melakukannya tanpa persetujuan isterinya. Dari sinilah pemakaian alat
kontrasepsi KB agar tetap merasakan kepuasan dan menghilangkan kemakruhan maka
dianggap yang paling signifikan untuk mencegah terjadinya aborsi jika terjadi
kehamilan yang tidak diinginkan.
E.2.
Saran-saran
1.
Bagi para wanita yang masih remaja, maupun ibu rumah tangga
hendaklah memperhatikan pendidikan dan memahami hak-hak reproduksi perempuan
agar dapat terlindungi dari segala macam resiko yang akan dihadapi. Jangan
sampai terjadi keguguran atau aborsi baik spontan maupun buatan sebagai akibat
adanya kehamilan yang tidak diinginkan, maka secepatnya untuk mengikuti program
KB agar bisa mengatur jarak ataupun jumlah anak yang diinginkan sesuai
kesepakatan dengan pasangan.
2. Peningkatan
partisipasi pria dalam KB dan Kesehatan Reproduksi bisa diupayakan agar keluhan
perempuan dapat terkurangi. Yaitu bisa dengan melalui sikap yang profesional
dan ilmiah tersedia dalam melindungi umat untuk
mencapai kehidupan yang baik.
3.
Pemerintah
Daerah lebih mengupayakan agar layanan kesehatan yang baik lebih mudah diakses
oleh keluarga khususnya kaum perempuan miskin, dengan biaya semurah
mungkin. Dan dihimbau agar dapat memfasilitasi pelaksanaan
wajib belajar 12 tahun di seluruh pelosok tanah air, dengan maksud remaja di
usia (10-17 tahun) dapat menikmati pendidikan sehingga pada gilirannya dapat
meningkatkan usia kawin pertama.
-----
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Ahnan, M. Batas Kebebasan Pergaulan Muda Mudi Islam. Bintang
Pelajar
……….Dinas Kependudukan, Keluarga Berencana
dan Cacatan Sipil Kab. Lumajang, Buku Informasi Kontrasepsi dan Kesehatan
Masyarakat
Daldiyono (2007), Pasien Pintar &
Dokter Bijak, Buku Wajib Bagi Pasien dan Dokter, dilengkapi Kode Etik
Kedokteran dan Undang-undang Praktek Kedokteran. Bhuana Ilmu Populer KelompokGramedia,
Jakarta
Dharma S. (ed) (2006) Konsep dan Teknik
Penelitian Gender. UMM Press, Malang
Djannah, F. (ect) (2003) Kekerasan
Terhadap Isteri, Lkis, Yogyakarta
Fakih M. (1999) Analisis Gender dan Transformasi
Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Farid, M (ed) Irwan A (Penerjemah) (1999): Perisai
Perempuan Kesepakatan Internasional
untuk perlindungan Perempuan (Judul Asli: International Law and the Status of
Women. Nathalie KH. Westview Press Inc, (1983). LBH APIK Bekerjasama dengan
Ford Foundation, Bogor
Jamal AM (1992) Dialog Tentang Wanita.
Pustaka Progressif, Surabaya
Kalibonso RS. (2002) Aborsi Dalam
Perspektif Fiqh Kontemporer, FK UI, Jakarta
Labib (2006), Aneka Problem Wanita Modern Membahas Berbagai problem Wanita Dalam Bentuk Tanya, Jawab, Bintang Usaha Jaya,
Surabaya.
Noor FM. (1983) Menuju Keluarga Sejahtera
dan Bahagia. PT. Al Ma’arif, Bandung
Overholt, C et.al. (1985) Gender Roles un
Development Projects: A Case Book. Kumarian Press Inc. Connecticut
Sumiarni, E. dan Tangkilisan, HNS (ed)
(2004), Jender dan Feminisme. Yogyakarta, Wonderful Publishing Company.
Tim Gerbangmas Kabupaten Lumajang, (2006) Pendidikan
dan pelatihan “Gerbangmas” (Gerakan Membangun Masyarakat Sehat), Pemkab,
Lumajang.
Thalib, S (1986), Hukum Kekeluargaan di
Indonesia. UI Press, Jakarta
Umar, N. (2003) Kesetaraan partisipasi
Pria dan Wanita Bagi Kesehatan Reproduksi dalam Islam, http://hqweb01. bkkbn.go.id/hqweb/pria/ artikel03-21.html
Wibisono Y. (2003) Menggapai Keluarga
Bahagia, Mozaik Keluarga Lumajang, TP. PKK Kab. Lumajang, Lembaga Kajian
as-Sakinah (Lekas), Lumajang
“Pedoman Kebijakan Tehnis Upaya Promosi Dan
Pemenuhan Hak-hak Reproduksi” http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/
pkkebijakanteknisprogremhr.html
b.
Jurnal
dan Makalah
Purwanti H. (2001) “Bias Gender dalam
Hukum Perkawinan”, Jurnal Hukum Argumentum No. 1/Juli-Desember 2001. STIH
Jenderal Sudirman, Lumajang.
Purwanti H. (2009) “Pengendalian
Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Berencana” (Studi di Kabupaten
Lumajang), Jurnal Hukum Argumentum No.2, Juni 2009. STIH Jenderal Sudirman,
Lumajang.
Reny AS. (2007) “Kesehatan Bagi
Perempuan” Makalah seminar penyadaran Kesehatan Perempuan, Lumajang, 24
Nopember 2007
Rokhmad, A (2005) ”HAM Dan Demokrasi di
Era Globalisasi”. Jurnal Hukum Vol XV No.3 Desember 2005, FH Unisula,
Semarang.
Nargis (2006) Keluarga: Perannya dalam
Mencegah Kehamilan Usia Remaja (10-19 tahun). Warta Demografi Tahun ke -36,
No.3, 2006, Jakarta
c.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Fokus Media, Bandung
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan, Arloka, Surabaya
Undang-undang RI Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dan HAM Tahun 2001 dilengkapi Keppres Tentang Komisi Hukum
Nasional dan Keppres Tentang Komisi Ombutsman Nasional
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Fikus Media, Bandung
d. Media Massa
Jawa Post, 24 September 2005: 4., Soal Legislasi Praktik Aborsi. Mu’allim
Kompas, Selasa, 29 Januari 2008: 13
Jangan Main Paksa (Meswati ED),
Kesehatan: Jalan Panjang Menuju Masyarakat Sehat (Rachmawati E)
Kompas, Sabtu , 4 Juli 2009: 37. Hak Reproduksi. Bukan Saatnya
Memaksa, Pambudi NM
*
Dra. Henny Purwanti,MM. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman
Lumajang.