Rabu, 02 Februari 2011

USAHA PENERTIBAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KABUPATEN LUMAJANG


Jurnal Hukum ARGUMENTUM Vol. 10 No. 1, Desember 2010
ISSN: 1412-1751



USAHA PENERTIBAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KABUPATEN LUMAJANG
Henny Purwanti dan Misnarti
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang -

ABSTRAK
Pedagang kaki lima (PKL) merupakan sektor informal yang meskipun sangat membebani, namun merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk membina serta melindunginya. Pembinaan PKL akan meningkatkan penggalian dana dalam rangka penerimaan daerah sekaligus mengembangkan kekuatan ekonomi  rakyat kecil. Selain pembinaan, pemerintah daerah juga melakukan penertiban yang acapkali terjadi kekerasan di dalamnya. Dalam kenyataannya, Pemkab Lumajang tidak konsisten dalam penegakan Perda No. 8 Tahun 2006 tentang Penertiban dan Pembinaan PKL di Kab. Lumajang.
Kata Kunci: Penertiban, Pembinaan, Pedagang Kaki Lima.

A.     PENDAHULUAN
Pedagang kaki lima telah (PKL)[1] memberikan inspirasi  tentang adanya jiwa kewirausahaan. Apabila PKL ada di seluruh belahan dunia berarti jiwa kewirausahaan bersifat universal. Akan tetapi tidak semua orang yang melakukan kegiatan usaha melalui PKL menjadi pelaku usaha yang berhasil. Namun mereka yang berhasil pada umumnya bertumpu di atas fondasi kegagalan.
PKL sebagai bagian dari usaha sektor informal dapat dijelaskan melalui ciri-ciri yang dikemukakan oleh Kartini Kartono dan kawan-kawan (1980: 3-7) sebagai berikut:
”Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus produsen. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong) menjajakan bahan makanan, minuman dan barang-barang konsumsi lainnya secara eceran. Umumnya bermodal kecil terkadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya. Pedagang kaki lima di perkotaan tidak saja merupakan pelembagaan perilaku ekonomi semata tetapi juga merupakan pelembagaan sosial”.[2]
Masalah PKL selalu menjadi hal yang menarik untuk diteliti. PKL selalu menjadi polemik di berbagai kalangan, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan pemerintah. Keberadaannya sering berhubungan dengan masalah penertiban  dan penggusuran seolah telah menjadi satu mata rantai tak terpisahkan. Upaya penertiban  yang dilakukan oleh  aparat pemerintah sering  berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen  masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL melakukan unjuk rasa yang selalu berakhir dengan kekacauan. Sehingga ketertiban yang diharapkan sulit sekali untuk diwujudkan.
 Menurut Satjipto Rahardjo, ”Ketertiban adalah sesuatu yang dinamis. Ketertiban dan kekacauan sama-sama ada dalam asas proses sosial yang bersambungan (continuum)”.[3] Keduanya  tidak berseberangan, tetapi sama-sama ada dalam  sati asas kehidupan sosial. Ketertiban  bersambung dengan kekacauan dan kekacauan membangun  ketertiban baru, demikian seterusnya. Dalam ketertiban ada benih-benih kekacauan, sedangkan dalam kekacauan tersimpan bibit-bibit ketertiban. Keduanya adalah sisi-sisi dari mata uang yang sama.[4]
Pemerintah daerah masih banyak mengalami kendala dalam mengatasi masalah PKL. Bagi pemerintah daerah sendiri, dalam setiap kebijakan  yang ingin dilaksanakan harus melalui  satu atau lain bentuk perundang-undangan. Sehingga nantinya kebijakan tersebut dapat dipahami oleh masyarakat juga pihak yang berkaitan dengan kebijakan tersebut.[5] Dalam rangka mewujudkan arah kebijakan tersebut di atas, pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat menciptakan harmonisasi yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Penggusuran PKL sebetulnya tidak perlu terjadi bila Perda dan penegakannya (law enforcement) sudah memadai. Inti dan arti penegakan hukum  terletak pada kegiatan  menyelesaikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan  kedamaian pergaulan hidup.[6]
Fenomena PKL beserta pembinaan dan penertibannya demikian itu juga terjadi di Kabupaten Lumajang. Salah satu upaya untuk melakukan penertiban dan pembinaan tersebut adalah dengan mengeluarkan peraturan dalam bentuk Perda. Tampaknya penerapan Perda Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penertiban dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Lumajang menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Relokasi PKL yang berada di Taman Mini dan area seputar Alun-Alun Lumajang ada unsur politik. Sementara dari aparat pemerintah beralasan perelokasian ini murni dilakukan karena keberadaan PKL di seputar jalan Alun-alun Lumajang dianggap tidak sesuai dengan tata ruang kota dan relokasi tersebut telah sesuai dengan Perda.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka upaya penertiban dan pembinaan PKL di Kabupaten Lumajang perlu untuk dikaji dan diteliti lebih dalam.

B.     METODE PENELITIAN
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat yuridis sosiologis, yang dikaji berdasarkan sosiologi hukum. Pendekatan ini  dipakai karena peneliti bermaksud untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang upaya penertiban dan pembinaan yang dilakukan pemerintah di Kabupaten Lumajang, khususnya tentang perelokasian PKL di area seputar Alun-alun Lumajang dan Taman Mini serta pendapat dari PKL yang berada di lokasi tersebut.

C.     HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C.1. Perlindungan Hukum Bagi Pedagang Kaki Lima dalam UUD 1945
            Ketentuan perlindungan hukum bagi para PKL terdapat pada Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai  hak untuk bekerja dalam bidang apapun selama tidak bertentangan dengan Undang-undang agar dapat mencukupi kebutuhan hidup bagi keluarganya sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak dan pantas dalam masyarakat. Apabila kehidupan masyarakatnya telah mencukupi, peme-rintah tidak akan kesulitan dalam memperbaiki ekonomi negara. Hal tersebut dapat  terwujud bila pemerintah mampu mengatasi masalah pedagang kaki lima dengan bujak dan santun.
Pasal 34 UUD 1945 juga menyebutkan:
1)       Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
2)       Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3)       Negara bertanggung jawab atas penyediaan  fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas  pelayanan umum yang layak.
4)       Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-undang.
Mengacu pada Pasal 34 tersebut, khususnya ayat 2 dan 3 sudah seharusnya pemerintah bertanggung jawab atas warga negara yang berada di bawah garis kemiskinan melalui cara-cara pemberdayaan terhadap masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat sebagai manusia.
            Pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap warganya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 dan 72 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 71 dijelaskan ”Pemerintah wajib dan bertanggung jawaqb menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah kembali disebutkan pada Pasal 72 bahwa kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan  negara dan bidang lainnya.
            Mengenai hak-hak yang termasuk kategori hak ekonomi dan sosial mencakup hak-hak: a. hak untuk bekerja; b. hak untuk mendapatkan upah yang sama; c. hak untuk tidak dipaksa bekerja; d. hak untuk cuti; e. hak atas makanan; f. hak atas perumahan; g. hak atas kesehatan; dan h. hak atas pendidikan.[7]
C.2. Perda No. 8 Tahun 2006 tentang Penertiban dan Pembinaan PKL di Kabupaten Lumajang.
            Perda Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penertiban dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Lumajang dikeluarkan sebagai wujud kebijakan pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lumajang untuk  menertibkan para PKL di Kabupaten Lumajang. Perda tersebut dibentuk atas inisiatif dan prakarsa dari Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lumajang dan tercantum dalam materi pokok mengenai  pengaturan penertiban dalam Lembaran Daerah Seri E No. 8 Tahun 2006 tertanggal 22 Mei 2006.[8]
Salah satu bentuk pembinaan terhadap para PKL tersebut adalah dengan pendataan oleh instansi terkait serta pejabat yang ditunjuk, dan pemberian bimbingan serta penyuluhan secara berkesinambungan  kepada para PKL. Namun dalam faktanya tidak semua PKL  merasa telah mendapat pembinaan dari aparat pemerintah. Bahkan banyak PKL merasa  tidak ada pembinaan  secara nyata terhadap keberadaannya. Sementara salah satu upaya penertiban dilakukan Pemerintah Kabupaten Lumajang dengan perelokasian tempat berjualan para PKL. Perelokasian dalam rangka penertiban PKL terkesan hanya terfokus pada PKL yang ada di daerah Alun-alun Lumajang saja. Maka wajar bila sebagian PKL merasa tidak puas dengan isi Perda serta kebijakan pemerintah tersebut yang dianggap hanya menjalankan hukum secara setengah-setengah tanpa memandang nilai-nilai keadilan yang seharusnya ada dalam setiap hukum di Indonesia.
            Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 3 disebutkan bahwa PKL dilarang:
a.       melakukan kegiatan usahanya di Jalan Alun-alun Lumajang dan daerah sekitarnya, trotoar, jalur hijau, stren sungai dan atau fasilitas umum di Kabupaten Lumajang, kecuali kawasan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati;
b.       melakukan kegiatan usahanya dengan mendirikan tempat  usaha yang bersifat semi permanen dan atau permanen;
c.       melakukan kegiatan usaha yang menimbulkan kerugian dalam hal keamanan, ketertiban, kebersihan, kesehatan, kerapian, dan keindahan;
d.       menggunakan lahan yang melebihi ketentuan yang telah diijinkan oleh Bupati dan/atau wakil pejabat yang ditunjuk;
e.       menelantarkan dan atau membiarkan kosong tanpa kegiatan secara terus-menerus selama 1 (satu) bulan.
C.3. Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Lumajang
            Kondisi ekonomi di Kabupaten Lumajang semakin lama semakin tak menentu, membuat sebagian  besar masyarakat Kabupaten Lumajang  harus berusaha lebih keras agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dan juga keluarganya. Di tambah lagi dengan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan yang layak, maka tidak mengherankan bila jumlah pedagang kaki lima di Kabupaten Lumajang  semakin hari semakin meningkat.
            Hal tersebut dapat dilihat  dari jumlah PKL di Kabupaten Lumajang menurut data  yang diperoleh dari Asosiasi PKL di Kabupaten Lumajang, pada tahun 2001 jumlah PKL yang berada di Kabupaten Lumajang sebesar 178 orang, kemudian pada tahun 2002 menjadi 236 orang.[9] Dari hal tersebut nampak besar sekali jumlah peningkatannya yaitu lebih kurang 27 persen dari yang semula 178 menjadi 236 orang selama satu tahun.
            Pada tahun 2010 jumlah PKL menjadi 450 orang yang telah didata oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lumajang. Jumlah tersebut belum termasuk  para PKL yang berada di trotoar sepanjang Jalan Raya PB Sudirman Lumajang dan tidak masuk dalam pendataan  Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lumajang. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan  masyarakat Kabupaten Lumajang masih rendah karena masih banyak  penduduk di Kabupaten Lumajang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar penduduk yang bekerja sebagai PKL adalah penduduk yang kurang mampu dalam perekonomian.
            Sejak dikeluarkan Perda No. 8 Tahun 2006 pemerintah Kabupaten Lumajang melarang PKL  dan tidak diijinkan  berjualan di Taman Mini dan Alun-alun Lumajang. Namun PKL  tidak mengu\indahkan  larangan tersebut. Sehingga pemerintah harus  berusaha lebih keras lagi dalam mengadakan penertiban terhadap PKL tersebut. Akhirnya pada tahun 2009, pemerintah mulai bertindak tegas  terhadap keberadaan PKL   di Taman Mini dan di sekitar Alun-alun  Lumajang. Pemerintah kembali melarang  para PKL yang menempati lokasi tersebut dan berusaha untuk memindahkan PKL ke lokasi yang lain. Larangan tersebut menimbulkan penolakan dari para pedagang kaki lima yang tidak ingin pindah dari lokasi Taman Mini dan Alun-alun Lumajang tersebut.
            PKL yang berada di Alun-alun Lumajang dan di taman Mini mulai melakukan perlawanan dengan unjuk rasa kepada Pemerintah Kabupaten Lumajang sebagai bentuk penolakan terhadap tindakan Pemerintah Kabupaten Lumajang yang telah melarang PKL untuk berjualan di lokasi tersebut. PKL menuntut agar  agar disediakan lokasi yang baru bila tidak diijinkan lagi  untuk berdagang di Alun-alun Lumajang. PKL bahkan sempat mengadu kepada DPRD Lumajang untuk memperoleh kepastian  tentang keberadaannya. Akhirnya pada tanggal 4 Agustus 2009, DPRD memberikan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Bupati Lumajang selaku pemimpin di Kabupaten Lumajang.
            Adapun ini surat rekomendasi tersebut antara lain agar para PKL  tersebut diijinkan berjualan di Alun-alun Lumajang sebelum mendapat tempat relokasi yang permanen dan representatif. Apabila pemerintah Kabupaten Lumajang telah siap menyediakan tempat relokasi yang pemanen dan strategis, maka PKL siap untuk dipindahkan ke tempat relokasi yang baru. Menanggapi hal tersebut, akhirnya  Pemerintah Lumajang  memberikan kelonggaran . PKL diijinkan  untuk tetapberjualan  di Alun-alun dan Taman Mini  namun hanya pada hari tertentu yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang, sampai lokasi baru  selesai didirikan.Selanjutnya di hari tertentu  PKL tidak diijinkan  untuk berjualan di area Alun-alun dan Taman Mini Lumajang dan dihimbau untuk menempati tempat relokasi sementara yang berada di halaman sebelah Barat Stadion Semeru Lumajang. Hal tersebut berdasarkan  pada surat Keputusan Bupati Lumajang Nomor: 188.45/209/427.12/2009 tanggal 14 Agustus 2009. tentang Relokasi PKL di Kawasan Alun-alun Lumajang ke Relokasi sementara di Halaman Sebelah Barat Stadion Semeru Lumajang..
            Lokasi baru yang disediakan oleh Pemerintah Lumajang adalah area Artagama Lumajang yang terletak di sebelah Barat Stadion Semeru. Lokasi tersebut dianggap strategis oleh pemerintah karena berada di sekitar Stadion yang banyak dikunjungi masyarakat. Namun PKL tidak setuju untuk direlokasi ke lokasi tersebut karena  menganggap area Artagama Lumajang tidak strategis serta jauh dari keramaian. Akhirnya  terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Lumajang dengan PKL bahwa PKL tetap dapat berjualan di Alun-alun Lumajang pada hari-hari tertentu saja.
            Setelah pendirian lokasi berdagang baru selesai, para PKL mulai dilarang berjualan di area Alun-alun Lumajang, dan dihimbau  untuk pindah ke lokasi yang telah disediakan. Namun PKL tetap tidak setuju, hingga Pemerintah Kabupaten Lumajang melalui Satuan Polisi Pamong Praja mulai melakukan  penertiban terhadap PKL di area Alun-alun  Lumajang. PKL kembali melakukan unjuk rasa. Namun Pemerintah Kabupaten Lumajang  tetap tidak mengijinkan PKL untuk berjualan di Alun-alun Lumajang dan sekitarnya dengan alasan karena lokasi baru yang dituntut para PKL sudah selesai dan disediakan. Bahkan Pemerintah Kabupaten Lumajang menutup lokasi Taman Mini agar para PKL tidak berdagang di lokasi tersebut. Akhirnya sebagian kecil pedagang kaki lima  di Alun-alun Lumajang yang awalnya menolak direlokasikan ke Artagama, mulai setuju untuk menempati lokasi tersebut, namunb sebagian besar tersebar ke tempat-tempat lain. Ada yang berjualan di sekitar  tempat tinggalnya, ada yang berkeliling menjajakan daganganya dan sebagian lagi  menempati lokasi-lokasi yang strategis yang lain.
            Awalnya para PKL yang tidak setuju untuk menempati lokasi Area Artagama, mulai menempati lokasi strategis  seperti di sekitar perempatan dan Jalan Panjautan, namun warga sekitar  tidak setuju karena  lokasi tersebut merupakan jalan yang ramai sehingga dengan adanya PKL di wilayah  tersebut, maka pengguna  kendaraan menjadi terganggu. Akhirnya PKL yang menempati  lokasi tersebut  pindah ke Area Perumahan Tukum Indah. Sehingga PKL yang berasal dari Taman Mini dan Alun-alun Lumajang akhirnya menempati dua lokasi yang berbeda. Sebagian dari PKL pindah ke Area Artagama dan sebagian lagi menempati Area Perumahan Tukum Indah.
C.3.1. Keberadaan PKL di Area Artagama Lumajang.
            Area Artagama (Area Wisata Jalan Gajah Mada) Lumajang merupakan salah satu tempat  PKL yang didirikan  dan disediakan oleh pemerintah Kabupaten Lumajang bagi para pedagang kaki lima  yang telah direlokasi dari Alun-alun Lumajang dan Taman Mini (Taman Arya Wiraraja) Lumajang. Area Artagama terletak  di Jalan Gajah Mada Lumajang yang berada  di daerah sebelah Barat Stadion Semeru Lumajang atau dikenal dengan nama Area Toga. Di depan Area Artagama tersebut terdapat sebuah ruas jalan  yang ramai dilewati oleh  para pemakai kendaraan bermotor dan juga para pejalan kaki.
Area  Artagama Lumajang ditempati  sekitar 135 PKL yang menempati petak-petak yang telah disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang. Berdasarkan pada hasil wawancara dengan Bp. Waluyo dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lumajang, pada saat awal di data jumlah PKL yang terdaftar  adalah sebanyak hampir 150 orang pedagang yang menempati 4 petak lokasi berdagang yang tersedia, tiap petak diisi rata-rata 40 orang PKL.
Berdasarkan dari hasil wawancara dengan para PKL di area Artagama, banyak yang mengaku masih baru berjualan di lokasi tersebut dan bukan PKL yang berasal dari Alun-alun Lumajang. Berdasarkan wawancara dengan Bu Neto, salah seorang pedagang makanan di Artagama yang berasal dari Alun-alun Lumajang, jumlah PKL di Alun-alun Lumajang berkisar 115 PKL. Setelah dilarang berjualan di Alun-alun Lumajang dan diadakan relokasi, PKL yang menempati Area Artagama hanya sekitar 15 orang saja sementara sisanya tersebar ke tempat lain salah satunya Area Perumahan Tukum Indah. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lumajang juga menerangkan bahwa pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lumajang merasa kesulitan dalam mendata PKL yang berasal dari Alun-alun Lumajang atau PKL baru yang menempati lokasi Artagama tersebut.
Adapun gambaran masing-masing petak dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi PKL di Area Artagama Berdasarkan Jenis Dagangannya.

NO
Jenis Dagangan
Jumlah PKL

Jumlah
Petak A
Petak B
Petak C
Petak D
1
2
3
4
5
6
7
8
Pakaian
Aksesories
Sepatu sandal
Makanan
Helm
Alat dapur
Mainan anak
VCD
9
1
5
22
1
2
4
-
4
7
-
17
-
1
1
1
6
16
2
24
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
7
-
19
24
7
63
1
3
12
3

J u m l a h
44
31
50
7
132
Sumber: Disperindag Kab. Lumajang Tahun 2010.
 Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa PKL yang paling banyak adalah berjualan makanan yaitu berjumlah 63 pedagang atau sekitar 48 % dari 132 jumlah PKL (seluruh PKL di Artagama.). Sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah PKL yang berjualan helm yaitu hanya 1 orang atau 0,76%. Para PKL tersebut banyak yang menjual makanan karena umumnya pengunjung datang untuk sekedar rekreasi sambil menikmati makanan atau sekedar  berbelanja murah karena di sebelah utaranya ada lokasi tersebut. Sudahterdapat hutan kota yang cukup rindang yang difungsikan sebagai tempat bermain bagi anak-anak.
Berdasarkan Tabel tersebut di atas nampak bahwa letak PKL yang menempati  lapak-lapak  yang telah disediakan juga tidak merata, karena jumlah PKL yang  menempati Petak D hanya sedikit yaitu 7 orang berarti hanya 5 % sedang yang berada di Petak C paling padat yaitu sebanyak 50 PKL berarti 38 % berada di Petak C. Hal ini menunjukkan bahwa penataan PKL di Area Artagama  masih belum maksimal, karena  lapak-lapak yang tersedia masih banyak yang belum dimanfaatkan dan dibiarkan dalam keadaan kosong.
Berawal dari jumlah PKL yang di data oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lumajang yang berjumlah 150 PKL. Setelah diteliti ternyata berkurang menjadi hanya sekitar 132 PKL dan hanya 15 PKL yang berasal dari Alun-alun Lumajang, sementara lainnya adalah PKL baru. Hal tersebut dikarenakan  sebagian PKL yang berasal dari Taman Mini dan Alun-alun Lumajang tidak setuju dengan relokasi tersebut dengan alasan tempat yang kurang strategis dan tidak se ramai di Area seputar Taman Mini dan Alun-alun Lumajang.
C.3.2. Keberadaan  PKL di Perumahan Tukum Indah
            Perumahan Tukum Indah merupakan lokasi perumahan yang terletak di sebelah Timur Desa Bagusari dan termasuk dalam wilayah  Kecamatan Tekung. Lokasi PKL tersebut berada tepat di sebelah selatan pojok Jalan Lintas Timur Lumajang. PKL yang berjualan di Perumahan Tukum Indah Lumajang merupakan PKL yang berasal dari  Alun-alun Lumajang. Awalnya pemerintah Kabupaten Lumajang bermaksud melakukan relokasi ke Area Artagama. Namun para PKL tersebut menolak untuk pindah  ke lokasi tersebut dengan alasan lokasi baru yang disediakan oleh  Pemerintah Kabupaten Lumajang dianggap kurang strategis dan tidak seramai di  Taman Mini dan Alun-alun Lumajang. Sehingga PKL yang berasal dari  Taman Mini dan Alun-alun Lumajang lebih memilih untuk mencari lokasi berdagang sendiri yang dianggap strategis daripada di area Artagama.
            Jumlah PKL yang menempati area Perumahan Tukum Indah sekitar 44 PKL yang menjual berbagai macam barang dagangan. Mulai dari pedagang pakaian, makanan, hingga mainan anak-anak. Sebagian PKL yang menempati lokasi Perumahan Tukum Indah adalah PKL yang berasal dari Taman Mini dan Alun-alun Lumajang. Untuk lebih jelasnya jumlah PKL di Perumahan Tukum Indah Lumajang dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2. Klasifikasi PKL di Perumahan Tukum Indah Berdasarkan Jenis Dagangannya.
NO
Jenis Dagangan
Jumlah PKL
1
2
3
4
5
6
7
8
Pakaian
Aksesories
Sepatu sandal
Makanan
Alat dapur
Mainan anak
VCD
Ikan hias
12
5
2
16
1
5
2
1

J u m l a h  P K L
44
Sumber: Data primer yang diolah
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa PKL yang paling banyak adalah penjual makanan sebanyak 16 orang berarti 36 % dari 44 orang PKL yang berada di Perumahan Tukum Indah berjualan makanan. Sedangan yang berjualan alat dapur dan ikan hias masing-masing sama hanya 1 orang, berarti sekitar 2,3 % saja.
Jumlah tersebut belum termasuk PKL yang telah menyebar ke lokasi lainnya. Umumnya, para PKL yang berasal dari Taman Mini dan Alun-alun Lumajang lebih memilih  menjajakan barang dagangannya  dengan cara berkeliling dari tempat satu ke tempat lain daripada harus menempati satu lokasi saja. Namun terkadang para PKL tersebut juga  menempati lapak-lapak yang berada di Area Perumahan Tukum Indah.
            Dengan berbagai alasan PKL untuk menolak direlokasi lebih memilih lokasi Perumahan Tukum Indah  daripada harus menempati lokasi Artagama yang telah disediakan Pemerintah Kabupaten Lumajang. Namun keberadaan para PKL di Area Perumahan Tukum Indah juga masih belum ada kepastian  karena lokasi yang digunakan, awalnya merupakan sub terminal yang sewaktu-waktu akan difungsikan kembali.

C.4. Penerapan Perda Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Penertiban dan Pembinaan PKL di Kabupaten Lumajang
C.4.1. Penerapan Perda Terhadap Masyarakat Kabupaten Lumajang
            Masyarakat di Kabupaten Lumajang umumnya tidak begitu memahami Perda Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Penertiban dan Pembinaan PKL di Kab. Lumajang  tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, masyarakat hanya mengetahui bahwa PKL di Taman Mini dan seputar Alun-alun Lumajang telah pindah lokasi yang baru yaitu Area Artagama Lumajang. Umumnya masyarakat tidak mengetahui tentang pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2006. namun dengan direlokasikannya PKL yang berada di taman Mini dan sekitar Alun-alun Lumajang mengundang berbagai tanggapan  dari masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang tidak setuju  bila PKL dipindah ke Artagama menyatakan alasannya karena Taman Mini dan Alun-alun Lumajang sering dikunjungi wisatawan  baik dari dalam maupun dari luar kota Lumajang. Karena biasanya sambil rekreasi warga juga dapat membeli makanan sebagai pelengkap selama ngobrol atau ketika  sedang berekreasi bersama putra-putrinya maupun keluarganya. Ibu Ratna memberikan saran  agar PKL tidak direlokasi tapi cukup ditata dan dirapikan saja seperti yang terjadi di daerah lain. Sebaliknya menurut Sdr. Sarwo menyatakan bahwa PKL memang seharusnya dipindahkan agar Taman Mini dan Alun-alun  Lumajang menjadi bersih dan indah serta  tampak hijau dan rindang.
            Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaungi keberadaan  para PKL di Taman Mini dan Alun-alun Lumajang. Salah satunya adalah LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang dengan gigih  berusaha mempertahankan  agar para PKL  yang berada di Taman Mini dan sekitar Alun-alun Lumajang  tetap berdagang di lokasi tersebut, karena mereka beranggapan bahwa warga punya hak untuk berusaha mempertahankan  hidup dan kehidupannya  tanpa adanya tekanan dari pihak manapun tak terkecuali pemerintah. Bahkan para PKL menganggap bahwa LSM tersebut lebih memahami masyarakat kecil daripada pemerintah sendiri.
            Hal tersebut sebagaimana yang ada dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 38 angka 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. Demikian juga pada angka 32 disebutkan   bahwa setiap orang berhak bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
C.4.2. Peranan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Pelaksana Perda
            Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Lumajang bertugas menertibkan  para PKL yang berada du Kabupaten Lumajang. Sebagai salah satu upaya relokasi terhadap PKL yang berada di wilayah Taman Mini dan seputar Alun-alun Lumajang, Satpol PP memegang peranan untuk menertibkan PKL  yang berada di lokasi tersebut. Walaupun cara yang dipakai dalam penertiban tersebut identik dengan kekerasan, Satpol PP Lumajang beralasan bahwa mereka hanya melakukan Perda yang ada.
            Menurut salah satu staf di Kantor Satpol PP Lumajang: tidak seharusnya PKL menyalahkan Satpol PP jika sampai muncul kekerasan dalam upaya penertiban yang dilakukan di Taman Mini dan sekitar Alun-alun Lumajang. Karena satpol PP hanya berusaha menegakkan Perda yang telah dibentuk oleh DPRD beserta Pemerintah Kab. Lumajang. Karena Satpol PP sebagai pelaksana, bukan pembuat atau pembentuk Perda tersebut. Jika PKL tidak puas dengan isi perda tersebut, maka PKL harus berdialog dengan DPRD dan Pemerintah Kabupaten Lumajang selaku pembuat Perda tersebut.
            Berdasarkan sumber data yang diperoleh dari salah satu LSM yang menaungi PKL, Satpol PP Kab. Lumajang menjelaskan dan mengklarifikasi mengenai beberapa tindakan yang berkaitan dengan  relokasi antara lain :
1.       Satpol PP melaksanakan tugas untuk mengendalikan para PKL  agar tidak berjualan di sembarang tempat yang dapat mengganggu  bahkan merampas hak masyarakat lain. Oleh karena itu, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 jo PP 32 Tahun 2004 Satpol PP diberi kewenangan oleh Pemerintah cq Kab. Lumajang guna memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
2.       Tugas Satpol PP memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, serta menegakkan Perda dan Peraturan Bupati.  Oleh karena Satpol PP sebagai unsur pelaksana teknis daerah, maka bertanggung jawab kepada Bupati melalui sekretaris daerah. Berdasarkan hasil audiensi dengan korlap PKL di seputar Alun-alun tgl. 8 Juni 2009 di ruang Mahameru,, disepakati bahwa Satpol PP untuk segera merelokasi lokasi usaha para PKL dari Taman Mini dan sekitar Alun-alun Lumajang ke halaman Stadion Semeru sebelah Barat dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a)             Mewujudkan tata ruang yang harmonis;
b)             Tersedianya fasilitas umum dan sosial;
c)             Memberikan kepastian usaha bagi PKL;
d)             Meningkatkan ekonomi masyarakat.
3.       Salah satu tugas Satpol PP adalah menegakkan Perda, salah satunya adalah Perda No. 8 Tahun 2006 Tentang Penertiban dan Pembinaan PKL di Kab. Lumajang, khususnya pasal 3 (1) huruf a disebutkan bahwa PKL dilarang melakukan  kegiatan usahanya di Alun-alun Lumajang dan sekitarnya, trotoar, jalur hijau, stren sungai, dan atau fasilitas umum, kecuali di kawasan tertentu yang ditetapkan dengan peraturan Bupati Lumajang.
4.       Dasar tindakan instansi Satpol PP terkait pemasangan pengumuman (plak pengumuman) di depan Taman Mini adalah wujud atau visualisasi kepada PKL  dalam bentuk sosialisasi  sebagaimana  diamanatkan delam Perda No. 26  Tahun 2007 Tentang Sistem Operasional dan Tata Kerja Satpol PP.
5.       Terkait upaya relokasi PKL di Taman Mini adalah berdasarkan Perda No. 8 tahun 2006 Tentang Penertiban dan Pembinaan PKL di Kab. Lumajang, dan Perda No. 26 Tahun 2007 Tentang Sistem Operasional dan tata Kerja Satpol PP dikuatkan dengan surat Gubernur  111.1/983/303/2008 tanggal 31 Des Tahun 2008 Tentang Pembinaan PKL. Juga hasil rapat bersama di Kantor Bappekab untuk merelokasi PKL di Taman Mini dan seputar Alun-alun Lumajang.
6.       Terkait Relokasi PKL di Taman Mini adalah berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2006  Pasal 3 (1) karena Taman Mini diperuntukkan sebagai fasilitas umum, rekreasi anak-anak.
7.       Dasar pemasangan papan pengumuman dan upaya relokasi PKL di Taman Mini merupakan visualisasi Satpol PP sebagaimana tertuang dalam Perda No. 8 Tahun 2006 untuk melakukan pembinaan dan di dalamnya ada unsur sosialisasi.
8.       Terkait relokasi  PKL yang berada di Dalam Taman Mini  berdasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1 sebagaimana sesuai dengan tahapan yang dilalui pada awal tanggal 8 Juli 2009 melaksanakan audiensi dan hasilnya ditindak lanjuti pada hari Kamis tgl. 11 Juni 2009 dengan sosialisasi bersama seluruh PKL yang ada di taman Mini dan seputar Alun-alun lumajang, Jalan Abu Bakar, Jalan Cokro Sudjono dan Jalan Imam Sujai.
9.       Satpol PP telah melakukan sosialisasi sebanyak 2 kali dengan dihadiri seluruh PKL, sedangkan terkait dengan permodalan sudah diusulkan kepada Bupati melalui Surat Satpol PP pada tgl. 11 Juni 2009.
Klarifikasi tersebut terdapat dalam berita acara LSM GMBI Distrik Lumajang No. 51 A.KLA/PK5/GMBI/DPD-LMJG/VI/2009 perihal klarifikasi dan tindakan. Demikian hasil klarifikasi dan tanggapan dari Satpol PP tgl. 15 Juli 2009 di Kantor Satpol PP kab. Lumajang terkait dengan surat yang berasal dari LSM GMBI yang mempertanyakan dasar tindakan Satpol PP terhadap Penertiban serta upaya relokasi PKL.
D.2.3. Pembinaan Terhadap PKL oleh Pemerintah
            Berdasarkan hasil wawancara dengan Bpk. Waluyo dari dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten lumajang, terdapat tim pembina dan penertiban PKL di Kab. Lumajang. Tim tersebut terdiri dari 13 unsur instansi yaitu:
1)       Unsur Bappeda sebagai perencana dalam pendirian  tempat dan lokasi yang akan dipergunakan di Area Artagama Lumajang;
2)       Unsur Satpol PP sebagai tim yang bertugas melakukan penertiban terhadap PKL yang menempati lokasi tertentu yang dilarang oleh pemerintah;
3)       Unsur Badan Kesbangpol untuk mengetahui pengaruh sosial yang timbul di masyarakat akibat dari relokasi tersebut;
4)       Unsur Dinas Perhubungan sebagai pengelola retribusi parkir dan jalan;
5)       Unsur Dinas Pekerjaan Umum;
6)       Unsur Dinas Lingkungan Hidup sebagaui unsur penataan lingkungan;
7)       Unsur Dinas  Pasar sebagai Pengelola retribusi terhadap PKL;
8)       Unsur Bagian umum Setda;
9)       Unsur Bagian Hukum Setda;
10)   Unsur Kantor Pelayanan terpadu untuk masalah perijinan lokasi PKL;
11)   Unsur Kodim Lumajang sebagai pengamanan;
12)   Unsur Polres Lumajang sebagai pengamanan;
13)   Unsur Kecamatan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris  di Dinas Pasar Kab. Lumajang, saat ini  pengelolaan retribusi  dari PKL di area Artagama Lumajang telah ditangani oleh pengelolapasar Sukodono, karena pengelolaannya masih menjadi satu dengan Lesehan Stadion Semeru (LSS), nantinya pengelola Pasar Sukodono yang akan bekerjasama dengan Dinas Pasar Kab. Lumajang. Namun, untuk PKL yang berada di Perumahan Tukum Indah belum dipungut retribusi, karena  masih melihat perkembangan mengenai kawasan tersebut. Hal tersebut berdasarkan pada Keputusan Bupati No. 26 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 1999 Tentang Retribusi Pasar.[10] Dalam peraturan tersebut disebutkan mengenai fasilitas, jenis retribusi dan ketentuan besarnya tarif.
Dengan demikian pemerintah Kab. Lumajang hanya menertibkan PKL sebatas di Area Taman Mini dan seputar Alun-alun Lumajang dan belum sepenuhnya mencakup seluruh PKL  yang ada di wilayah Kab. Lumajang. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Kab. Lumajang tidak konsisten dalam penegakan Perda No. 8 Tahun 2006 tentang Penertiban dan Pembinaan PKL di Kab. Lumajang.

D.     PENUTUP
Upaya pemerintah dalam penertiban dan pembinaan PKL di Kabupaten Lumajang masih belum sepenuhnya. Hal ini terlihat dari banyaknya PKL yang masih berjualan di atas trotoar, emperan toko Jalan Raya PB Sudirman, Lumajang dan tempat umum yang lainnya. Penertiban yang dilakukan pemerintah ada yang pro dan ada yang kontra, penolakan relokasi PKL di Taman Mini dan seputar Alun-alun Lumajang, ke area Artagama,  menimbulkan  ketidakpuasan para PKL hingga melakukan demo sebagai wujud penolakan tindakan pemerintah Kab. Lumajang. Namun pemerintah tetap melakukan perelokasian tersebut. Dan pembinaan permodalan baru sebatas usulan kepada Bupati melalui surat Satpol PP Kabupaten Lumajang.
                                        
                                         DAFTAR KEPUSTAKAAN

Asshidiqie, Jimly (2010) Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta
Manan, Abdul (2005) Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta
Nitisusastro, Mulyadi (2009) Kewirausahaan & Manajemen Usaha Kecil, Alfa Beta, Bandung
Rasjidi, Lili and Wyasa Putra (2003) Hukum Sebagai Suatu sistem. Mandar Maju, Bandung
Rahardjo, Satjipto (1996) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bhakti, Bandung
Rahardjo, Satjipto (2006) Membedah hukum progresif. Kompas, Jakarta
Soekanto, Soerdjono (1983) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono (1997) Pokok-pokok Sosiologi Hukum. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Samsi, Nur (2202) Analisis Pemahaman Pedagang Kaki Lima (PK-5) Terhadap Ketertiban Umum di Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang. Skripsi, STIH Jend. Sudirman, Lumajang
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pembinaan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Lumajang




[1] PKL diartikan sebagai ”orang yang hidup yang bermata pencaharian sebagai pedagang yang dilakukan secara berpindah-pindah atau tidak menetap di suatu tempat”. Lihat  Nur Samsi (2002) Analisis Pemahaman Pedagang Kaki Lima (PK-5) Terhadap Ketertiban Umum di Kecamatan Lumajang Kabupaten Lumajang. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman, Lumajang, hal. 8.
[2] http://74.125.153.132/search?q=cache:p8m0zblkKJ8J:images.somarno.multipley.com.
[3] Satjipto Rahardjo (2006) Membedah Hukum Progresif. Kompas, Jakarta, hal. 85.
[4] Ibid
[5] Satjipto Rahardjo (1996) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 91.
[6] Soerjono Soekamto (1983) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 5.
[7] Jimly Asshidiqie (2010) Konstitusi Ekonomi. Kompas, Jakarta, hal. 264.
[8] http://www.Lumajang.go.id/perda.htm
[9] Sumber Data: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang Tahun 2007.
[10] http://www.lumajang.go.id/din-pasar.php