Jurnal Hukum ARGUMENTUM Vol. 5 No. 1, Desember 2005.
ISSN: 1412-1751
RISIKO INVESTOR DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP APBN
Oleh: Henny Purwanti*
ABSTRAK
Sebagaimana
diketahui resesi ekonomi dunia telah mengakibatkan menurunnya nilai ekspor non
migas tahun-tahun terakhir ini. Berbagai langkah kebijaksanaan telah dilaksanakan
Pemerintah dalam rangka memperkecil pengaruh resesi ekonomi dunia terhadap
perekonomian Indonesia dan khususnya diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan
penerimaan negara dari sumber-sumber di luar minyak, terutama dari penerimaan
pajak, sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar dalam Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN). Dalam pelaksanaannya penerimaan pajak
langsung sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijaksanaan ekonomi umumnya
serta kebijaksanaan pajak pada khususnya.
Sehingga muncul berbagai resiko yang merupakan suatu hal yang tidak diinginkan,
tetapi dalam perekonomian selalu berkaitan dengan alternatif kegiatan harus
diambil yang paling baik dan dianggap menguntungkan bagi masyarakat, sebagai
individu, investor sebagai pelaku bisnis maupun pemerintah sebagai pengatur
serta pemegang kekuasaan perekonomian bangsa dan negara.
A.
PENDAHULUAN
Kebijaksanaan ekonomi
makro didasarkan pada trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi seiring dengan meningkatnya pemerataan pembangunan dan hasilnya yang
semakin meluas dan didukung stabilitas
ekonomi yang sehat dan dinamis (Tjiptoharyanto P, 1997: 2).
Pertumbuhan
ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa
yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat
meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang.
Dalam kebanyakan
analisis mengenai penentuan pendapatan nasional pada umumnya dianggap investasi
yang dilakukan para pengusaha adalah
berbentuk investasi otonom. Walau bagaimanapun , pengaruh pendapatan nasional
kepada investasi tidak boleh diabaikan.
Perlulah disadari bahwa tingkat pendapatan nasional yang tinggi akan memperbesar pendapatan
masyarakat, selanjutnya akan
memperbesar permintaan terhadap
barang-barang dan jasa-jasa. Maka keuntunga perusahaan akan bertambah tinggi dan ini akan mendorong dilakukannya banyak investasi. Dengan kata
lain, jika pendapatan nasional bertambah
tinggi, maka investasi akan bertambah tinggi pula.
Oleh karena itu dengan
adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian menimbulkan dua perubahan penting dalam
proses penentuan keseimbangan pendapatan
nasional:
(i) pungutan pajak yang dilakukan pemerintah akan mengurangi
pengeluaran agregat melalui pengurangan
ke atas konsumsi rumah tangga,
sebaliknya
(ii) pajak memungkinkan
pemerintah melakukan perbelanjaan
dan ini akan menaikkan perbelanjaan
agregat.(Sukirno S, 1994: 131)
Dengan demikian pajak yang
diperoleh pemerintah akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah. Sebagai sumber
utama, sebagian dari pengeluaran pemerintah adalah untuk membiayai administrasi pemerintahan dan
sebagian kegiatan pembangunan. Membayar gaji pegawai pemerintah, membiayai
sistem pendidikan, dan kesehatan rakyat, membiayai perbelanjaan untuk angkatan bersenjata,dan berbagai jenis
infrastruktur yang penting artinya dalam pembangunan adalah beberapa bidang
penting yang akan dibiayai pemerintah. Perbelanjaan tersebut akan meningkatkan
pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi negara.
Adapun para pengusaha
akan melaksanakan keinginannya untuk menanam modal apabila tingkat pengembalian modal dari penanaman modalnya itu, yaitu persentasi keuntungan neto (tetapi sebelum dikurangi
bunga uang yang dibayar) modal yang diperoleh, lebih besar dari tingkat bunga.
Selain itu dari sisi
kaca mata para investor, dua aspek penting yang sering diteliti ialah tentang
tingkat keuntungan yang diharapkan sebagai sesuatu yang dikehendaki, sedangkan
varians atau risiko sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki. Keadaan ini
menerangkan hubungan antara kepercayaan dan pilihan untuk portofolio
berdasarkan peraturan yang dikemukakan oleh Markowitz yaitu keuntungan yang diharapkan – varians bagi
keuntungan. Satu jenis peraturan tentang pilihan portofolio ialah para investor
akan memaksimumkan nilai yang mendapat diskon untuk keuntungan waktu yang akan
datang. Walau bagaimanapun waktu yang akan datang tidak dapat dipastikan dengan
tepat. Oleh karena itu keuntungan perlu diharapkan (Rodoni A & Yong O,
2001: 38).
Dalam sejarah
perkembangan ekonomi dunia menunjukkan bahwa di dalam dua abad belakangan ini penemuan
dan pembaruan sangat besar peranannya dalam mempercepat proses
pembangunan. Pembaruan dalam semua
sektor ekonomi telah mempertinggi produktivitas di berbagai kegiatan di bidang
ekonomi. produktivitas yang bertambah tinggi telah memungkinkan pertambahan
produksi yang sangat cepat dan memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih
cepat.
Sebaliknya dalam masa
kemunduran ekonomi, misalnya pendapatan pajak berkurang, tetapi untuk
mengatasi pengangguran pemerintah perlu melakukan banyak
program-program pembangunan , maka pengeluaran pemerintah bertambah, sebaliknya
pada waktu inflasi dan tingkat kemakmuran tinggi, pemerintah harus lebih
berhati-hati dalam perbelanjaanya. Harus dijaga agar pengeluaran pemerintah
tidak memperburuk keadaan inflasi yang berlaku.
Istilah ekonomi
kerakyatan telah lama terdengar, dijaman kabinet BJ Habibie menjadi pembelaan
rakyat kecil sebagai kunci untuk merehabilitas kerusakan ekonomi akibat multi
krisis yang sedang kita alami. Lebih-lebih dengan adanya Ketetapan MPR No.
16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang
disebut Ekonomi Kerakyatan. Kenyataan bahwa struktur dunia usaha di Indonesia
sangat didominasi oleh perusahaan berskala besar dan raksasa. Pasal 3
dinyatakan:”dihindari terjadinya penumpukan aset dan kekuatan ekonomi pada
sekelompok orang atau perusahaan yang
tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan
pemerataan”(Kwik Kian Gie, 1999:244). Adakah pengusaha yang sangat pandai,
ulet, berani mengambil resiko, tetapi bersih, etis dan tidak melanggar
undang-undang? Banyak,biasanya para pengusaha menengah.
Dalam diskursus
kebijakan pembangunan sejak dasa warsa 70-an
hingga saat-saat terakhir Soeharto lengser,isu politik strategis yang
tak habis-habisnya dibicarakan orang memang menyangkut choice of direction<.i> (pilihan arah) dan hasil riil manuver
pembangunan ekonomi.
Dalam retorika politik
pembangunan di Indonesia, oleh pemerintah manapun yang pernah berkuasa, kita
selalu diingatkan akan pentingnya setiap kebijakan pembangunan ekonomi
memperhatikan nilai-nilai yang termuat dalam pasal 33 Undang undang Dasar (UUD)
1945. Ketentuan pasal itulah yang menjadi dasar refleksi adanya tekad politik
para pendiri republik ini untuk melindungi kepentingan rakyat. Dan pasal itulah
yang diharapkan dapat menjadi patokan
ideologis bagi perumusan kebijakan pembangunan ekonomi. namun, perjalanan sejarah menunjukkan bahwa sebagai policy in action pasal itu sering
diacuhkan, karena pada dataran
implementasi tak pernah dioperasionalisasikan dan tak jelas juntrungannya.
Godaan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan segala cara, terbukti bisa saja
datang setiap saat. Tidak saja semasa rejim Orde Lama Soekarno, tetapi juga
semasa rejim Orde Baru (Wahab SA, 1999:
87).
Dan bahkan sampai
sekarangpun masih bisa dirasakan bahwa godaan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang telah mengarahkan negara pada
pilihan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan segelintir
orang-orang super kaya dan konglomerasi bisnis ketimbang pada kepentingan orang
miskin dan para pengusaha kecil. Untuk lebih jelasnya bisa dicermati beberapa
pendapat dari para penguasa baru di tanah air.
Menurut Menkeu dalam
Kompas hari Kamis 8 Desember 2005,
prioritas utama tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2006 adalah
mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga memenuhi target APBN 6,2 persen. Dengan
inflasi ditekan menjadi 8 persen di akhir tahun 2006. Dijanjikan perbaikan iklim usaha.
Menurut Ketua Umum
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno dalam Kompas hari Rabo, 7
Desember 2005, hal. 17, mengatakan :
untuk menciptakan lapangan kerja, sektor industri harus didukung.
”Caranya , jalankan dulu paket kebijakan
insentif 1 Oktober 2005. Misalnya , perubahan pajak pertambahan nilai (PPN)
untuk komoditas primer pada januari 2006,”. Karena dunia usaha terbebani juga
dengan biaya tinggi akibat kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM). Dan banyak faktor lain yang membuat biaya
produksi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Biaya energi
listrik, biaya BBM untuk produksi industri dan transportasi, biaya buruh, bunga
perbankan, dan pungutan di daerah.
Sungguh tragis memang,
kalau keputusan alokasi dan investasi pembangunan - karena alasan-alasan
prestise politik - terlanjur terkucur dengan deras ke sektor industri padat
modal dan padat teknologi tertentu yang dalam jangka pendek dan menengah belum
ketahuan kemampuannya menghasilkan uang, lagi pula rentan terhadap fluktuasi
pasar dunia.
Permintaan ekonomi
dikendalikan melalui pengembangan kebijaksanaan sektor keuangan, yaitu keuangan negara, moneter, dan nilai tukar
mata uang. Dalam kaitan ini kebijaksanaan keuangan negara dan neraca pembayaran
diupayakan tetap seimbang dan saling mendukung dalam rangka pengelolaan
permintaan agregat. Kebijaksanaan keuangan negara tetap didasarkan pada
anggaran belanja berimbang dan dinamis dalam rangka memelihara dan
memantapkan st`bilitas moneter serta
ekonomi pada umumnya. Dalam kaitan itu anggaran pendapatan dan belanja negara
tetap diupayakan agar mencerminkan keserasian antara penerimaan dan pengeluaran
dengan memungkinkan dibentuknya Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) pada masa
penerimaan negara melebihi dari yang
direncanakan.
Di samping itu anggaran
pembangunan diupayakan senantiasa meningkat untuk mendukung kegiatan
pembangunan berkelanjutan. Untuk itu peningkatan infrastruktur seperti telepon,
listrik, dan fasilitas serta pelayanan pelabuhan dan kemampuan meningkatkan
sumber dana bagi pembangunan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri,
merupakan prasyarat terwujudnya kemampuan bersaing di era perdagangan bebas.
B.
PERMASALAHAN
Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1.
Resiko apa saja yang dihadapi para investor selaku pelaku
bisnis di Indonesia?
2.
Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menghadapi
perekonomian bangsa?
3. Adakah interaksi antara resiko yang dihadapi para
investor dalam pelaksanaan kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah dalam
rangka pencapaian target APBN?
C.
PEMBAHASAN
Investasi
Program merupakan
proses perencanaan jangka panjang yang di dalamnya manajemen merencanakan
alokasi sumber daya ekonomi kepada berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan di
masa yang akan datang untuk pelaksanaan strategi dalam mencapai tujuan
perusahaan.
Pada umumnya investasi
membutuhkan dana yang relatif besar, dan
keterikatan dana tersebut dalam jangka
waktu yang relatif panjang, serta mengandung risiko.
Adapun definisi dari
investasi adalah pengkaitan sumber dalam jangka panjang untuk menghasilkan laba
di masa yang akan datang. Dalam penggantian dan penambahan kapasitas pabrik,
dana yang sudah ditanamkan akan terikat dalam jangka waktu yang panjang, sehingga
perputaran dana tersebut kembali menjadi uang tunai tidak dapat terjadi dalam
waktu pendek, tetapi dalam jangka waktu yang lama. Sekali investasi diputuskan
maka perusahaan akan terikat pada jalan panjang di masa yang akan datang yang
sudah dipilih, yang tidak mudah untuk disimpangi (Sunarto, 2002, hal. 108).
Keputusan investasi,
biaya kesempatan (opportunity cost)
memegang peran sangat penting. Biaya kesempatan merupakan pendapatan atau
penghematan biaya yang dikorbankan sebagai akibat dipilihnya alternatif
tertentu.
Keputusan investasi
didasarkan pada aliran kas, maka pajak atas laba merupakan unsur informasi
penting untuk ikut dipertimbangkan dalam perhitungan aliran kas untuk
pengambilan keputusan investasi. Usulan investasi diperkirakan mengakibatkan
penghematan biaya atau tambahan pendapatan, maka disisi lain biaya diferensial
atau pendapatan diferensial akan mengakibatkan timbulnya diferensial, yang akan
menyebabkan tambahan pajak penghasilan yang akan dibayar perusahaan. Dalam
memperhitungkan aliran kas keluar dari investasi, perlu diperhitungkan pula
tambahan atau pengurangan pajak yang harus dibayar akibat adanya penghematan
biaya atau tambahan pendapatan tersebut.
Kesenjangan
Realisasi Investasi
Masalah
yang timbul dalam percaturan investasi swasta di tanah air bukan semata-mata
persoalan ketimpangan sektoral dan regional. Akan tetapi juga masalah
kesenjangan antara rencana yang disetujui dengan realisasi investasinya. Dalam
realisasinya tidak semua rencana investasi yang
sudah disetujui itu benar-benar direalisasikan oleh sang investor pemohon.
Banyak faktor bisa
dikemukakan untuk menjelaskan sebab-sebab rendahnya tingkat realisasi investasi
swasta. Sebagian dari faktor subyektif-internal, artinya berkaitan dengan
situasi perekonomian di dalam negeri Indonesia sendiri, termasuk si calon
investor. Sebagian lagi bersifat obyektif –eksternal, yakni bertalian dengan
konstelasi perekonomian internasional atau dunia pada umumnya. yang bersifat
subyektif-internal misalnya adalah gejala ekonomi biaya tinggi (‘) di tanah
air, sehingga mengurungkan niat investor untuk merealisasi rencana
investasinya.
Sebagaimana sudah
menjadi rahasia umum, sebelum diluncurkannya berbagai kebijaksanaan deregulasi
dan debirokratisasi, prosedur perijinan penanaman modal di Indonesia sangat
tidak efisien. Disamping menelan waktu lama, juga memakan biaya besar. Acapkali
calon investor harus mengeluarkan ongkos ekstra yang tidak sedikit akibat semua
itu. Kemampuan modal sendirinya kurang memadai bagi investasi yang direncanakan,
sehingga struktur modal sendirinya terlalu didominasi oleh dana pinjaman. Dalam situasi demikian, apabila
hasil-balik (returt) yang diharapkan
tidak lebih besar daripada biaya modal, ia akan cenderung membatalkan niat
investasinya.
Kebijakan
Investasi
Pada
awal pemerintahan ordebaru menerbitkan dua undang-undang berkenaan dengan
investasi, yaitu Undang-undang No. 1/Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA) dan Undang-undang No. 6/Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). Pemerintah sengaja lebih dahulu membuat undang-undang tentang modal
asing, dengan persyaratan yang amat ringan-mengingat pada saat itu investasi
diperlukan sekali untuk membantu memulihkan perekonomian dalam negeri yang
porak poranda. Dalam UU No.1/Tahun 1967 ditetapkan antara lain:
· Penanam modal dibebaskan dari pajak perusahaan selama
lima tahun; keringanan pajak perusahaan PMA sebesar lebih dari 50% selama lima
tahun; ijin untuk menutup kerugian-kerugian perusahaan sampai periode sesudah tax holiday itu;dan pembebasan penanam
modal asing dari bea impor atas mesin serta perlengkapan dan bahan baku.
· Jaminan tidak akan dinasionalisasikannya
perusahaan-perusahaan asing dan kalaupun dinasionalisasikan akan diganti rugi.
· Masa operasinal PMA adalah 30 tahun dengan perpanjangannya
tergantung pada hasil perundingan ulang.
·
Keleluasaan bagi penanam modal asing untuk membawa serta
atau memilih personil manajemennya dan untuk menggunakan tenaga ahli asing bagi
pekerjaan-pekerjaan yang belum bisa ditangani oleh tenaga-tenaga Indonesia.
· Kebebasan untuk mentransfer dalam bentuk uang semula
(valuta asing) keuntungan dan dana penyusutan
yang diperoleh dari penjualan saham yang disediakan bagi orang-orang
Indonesia.
· Sektor-sektor atau bidang usaha yang dinyatakan tertutup
bagi modal asing, yaitu meliputi pekerjaan umum (seperti pelabuhan dan
pembangkit tenaga listrik); media massa; pengangkutan (pelayaran dan
penerbangan); prasarana; serta segala industri yang berhubungan dengan kegiatan
produksi untuk keperluan pertahanan negara.
Undang-undang yang
berisi 13 bab dan 31 pasal ini, diundangkan per 10 Januari 1967, kemudian
dilengkapi dengan undang-undang No. 11/Tahun 1970. Undang-undang penyempurnaan
ini lebih merinci lagi berbagai kelonggaran dalam bidang perpajakan bagi PMA.
UU No. 6/Tahun 1968 tentang PMDN berintikan pemberian sejumlah kemudahan dalam
bidang perpajakan dan kredit kepada para penanam modal dalam negeri. UU inipun
kemudian disempurnakan dengan UU No.12/Tahun 1970.
BKPM
dan Peraturan Investasi
Dalam sebuah Keputusan
Presidium kabinet No. 17/EK/I/1967 tanggal 19 Januari 1967, pemerintah
membentuk lembaga untuk mengatur investasi bernama badan Pertimbangan Penanaman
Modal. Namun setahun kemudian, melalui Kepres No. 285/1968 badan tadi
digantikan oleh lembaga lain bernama Team Teknis Penanaman Modal. Lima tahun
kemudian, dengan Kepres No. 10/1973 tertanggal 26 Mei 1973, organisasi ini
diganti menjadi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Pada tahun-tahun
awal menjalankan tugasnya, BKPM banyak
dikeluhkan oleh penanam modal baik asing
maupun domistik. Keluhan pada umumnya berkisar masalah terlalu
berbelit-belitnya prosedur investasi yang harus ditempuh sehingga membuat
mereka menjadi tidak tertarik. Prosedur demikian juga telah menyebabkan
suburnya penyalahgunaan wewenang di berbagai instansi pemerintah yang terkait
dengan urusan penanaman modal. Menghadapi situasi demikian, pada tanggal 3
Oktober 1977 pemerintah mengeluarkan keputusan
yang memberikan wewenang penuh dan tunggal kepada BKPM untuk mengurusi
penanaman modal.
Pemantapan
institusional dalam rangka merangsang penanaman modal diiringi dengan berbagai
ketentuan di bidang peraturan dan perundang-undangan. Kebijaksanaan-kebijaksaan
investasi pada umumnya berkisar di masalah pengaturan penguasaan saham ;
prosedur perijinan; penggunaan tenaga kerja; kaitan dengan upaya peningkatan
eksport; keringanan pajak; serta ketentuan mengenai sektor atau bidang usaha
yang boleh (masih terbuka) dan tidak boleh (sudah tertutup) untuk dimasuki oleh
investasi baru. perihal terakhir, pemerintah mengumumkannya melalui sebuah
daftar bernama Daftar Skala Prioritas (DSP, sebutanya dulu) atau Daftar Negatif
Investasi (DNI, sebutannya kini).
Pada tahun 1984-1985
pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penyederhanaan prosedur perijinan
penanaman modal. Untuk tingkat nasional, ketentuan itu digariskan dalam Inpres
No. 5/tahun 1984 dan SK Ketua BKPM No. 10/1985.
Daftar Skala Prioritas
mulai dirasionalkan pada tahun 1989. Melalui Kepres No. 21 tahun tersebut,
jumlah bidang usaha yang dinyatakan sudah jenuh berkurang menjadi hanya 75
macam. Dua tahun kemudian, melalui Kepres No. 23/1991 Daftar Negatif Investasi
baru tinggal 60 macam. Penguranga-pengurangan DNI dimaksudkan agar peluang
investasi lebih terbuka, agar investor tertarik menanam modal di bidang-bidang
yang sebelumnya sudah dinyatakan tertutup.
Saat ini pemerintah
siap berbagi risiko dengan investor, yaitu dengan menetapkan empat kompensasi untuk
mempercepat penyediaan infrastruktur.
Keempat kompensasi tersebut merupakan bagian dari Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 67 tahun 2005, tertanggal 9 Nopember 2005, tentang kerjasama pemerintah
dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur yang dipublikasikan di
Jakarta, Kamis 17/11/2005.
Sri
Mulyani dalam Kompas Jum’at, 18 Nopember 2005, hal. 1, mengatakan: bentuk
kompensasi atau dukungan yang akan diberikan pemerintah dalam mempercepat
penyediaan infrastruktur adalah kerja sama investasi, subsidi, garansi, dan
penghapusan pajak. Badan Usaha yang berpeluang memperoleh kompensasi itu adalah
badan usaha milik negara (BUMN), swasta, badan usaha milik daerah (BUMD), serta
koperasi. “Kompensasi pemerintah dilakukan
dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara,”katanya.
Menko perekonomian
Boediono mengatakan pentingnya memperbaiki iklim investasi dengan mengambil
langkah-langkah reformasi peraturan di berbagai bidang, di pusat maupun daerah.
Apa yang menghambat investasi harus diubah de dalam keadaan yang mendorong
investasi. (Kompas, Kamis 8 Des-2005, hal 1).
Mengenai enam prioritas
yang ditekankan presiden untuk dicapai, yaitu : masalah inflasi dan stabilitas
secara umum. Artinya stabilitas makro jangan dilupakan. Meskipun kita tetap
ingin tumbuh, tapi tumbuh dalam keadaan seimbang dan stabil ujar Boediono.
Dapatkah dicapai prioritas yang ditargetkan ? tunggu nanti jika kurs bisa
terpelihara pada tingkat yang cukup baik, juga akan menurunkan harga-harga.
Arus barang harus dipelihara, tetapi fiskal dan moneter sama sekali tidak boleh
diabaikan kehati-hatiannya. Itu juga kunci,”
Setelah stabilitas dapat
dikelola, energi tim ekonomi dicurahkan pada pertumbuhan ekonomi.”Tetapi tanpa
mengabaikan keseimbangan makro” ia juga mengakui bahwa penurunan laju
inflasi akan berdampak terhadap suku
bunga. Dan perubahan suku bunga akan berdampak pada pembiayaan usaha yang
berhubungan langsung dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. karena inflasi adalah
masalah makro, maka inflasi akan mengurangi daya beli. Dengan kata lain inflasi
merupakan proses pemiskinan yang perlu segera diatasi.
Dalam kaitan ini, Sri
Mulyani menyampaikan bahwa “Tahun depan pemerintah tidak bisa ekspansi
besar-besaran dan berlebihan, karena berlawanan dengan keinginan menjaga stabilitas dan membahayakan pertumbuhan
ekonomi”
Dari sisi investasi dan
ekspor Indonesia masih menghadapi tantangan akibat tingginya suku bunga. Jika
investasi sekarang tumbuh 10-11 persen terus melambat, harus diwaspadai
dampaknya terhadap pertumbuhan, namun salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi
tahun 2005 adalah konsumsi yang selama ini tumbuh 3,5 – 4 persen. Dengan inflasi
18 persen, tentu konsumsi akan turun secara berarti. Oleh karena itu perlu
diadakan pemantauan terhadap daya beli masyarakat.
Aburuzal Bakri
mengemukakan beberapa permasalahan ekonomi yang belum tuntas sampai saat ini
antara lain
a)
Tingginya tingkat pengangguran belum teratasi karena
pertumbuhan ekonomi 5,6 persen belum cukup.
b) Efektivitas kebijakan fiskal menjadi titik lemah dalam pengelolaan kebijakan makro ekonomi,
seperti pengalihan anggaran 2005 ke 2006.
c)
Stabilitas makro ekonomi rentan ,
d)
Inflasi yang tinggi pada tahun 2005 dan
e)
Rupiah melemah
mencerminkan risiko yang sewaktu-waktu dapat muncul lagi dan mempengaruhi
kinerja ekonomi.
f)
Perbaikan iklim ekonomi perlu ditingkatkan (Kompas, Kamis
8 Des 2005,15)
Dengan melihat berbagai permasalahan yang
belum tuntas tersebut ada suatu harapan yang ingin diwujudkan secepatnya yaitu
paket insentif bagi dunia industri dapat dilaksanakan pada 1 Januari 2006
sesuai jadwal yang telah disepakati.
Kemudian
Fahmi Idris (Menteri Perindustrian yang baru) menyampaikan bahwa untuk dapat
mencapai tujuan tersebut perlu adanya pintu dialog terbuka seluas-luasnya bagi
pemangku kepentingan (stakeholder) ,
semua rencana yang direncanakan pengusaha harus sejalan dengan pemerintah, dan
sebaliknya rencana pemerintah sejalan dengan pengusaha.
Dengan
demikian dapat diperkirakan bahwa
pemerintah optimistis ekonomi akan jauh lebih baik, hal ini diungkapkan oleh
Sri Mulyani Indrawati dalam bincang-bincang dengan media massa di Jakarta,
Selasa 6 Des 2005 (Kompas, Rabo 7 Desember 2005, hal. 22) menegaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun
2005 akan tertekan akibat laju inflasi yang sangat tinggi pada bulan
Oktober dan November 2005, secara keseluruhan
berada pada 5,5 persen karena cukup beruntung pada kwartal I dan II masih di
atas 5,5 persen. Adapun untuk tahun 2006 pertumbuhan ekonomi dapat dicapai jika
pertumbuhan konsumsi masyarakat bisa dipertahankan sebesar 3,5 persen dari produk domestik bruto
(PDB). Selain itu pemerintah perlu mendatangkan investasi yang mencapai 11
persen hingga 12 persen dari PDB.
Kalau pertumbuhan
konsumsi tak mencapai 3,5 persen pertumbuhan ekonomi akan lebih lemah dari 6,2 persen. Jadi yang perlu
diperhatikan adalah menjaga daya beli masyarakat agar tidak turun, salah
satunya dengan melanjutkan bantuan langsung tunai. Sementara jika sudah
mendapatkan anggaran 11 persen hingga 12 persen akan menyumbang pertumbuhan
ekonomi mendekati 6 persen. Akan tetapi masih perlu mewaspadai tingginya
inflasi di tahun 2006 sehingga bisa menurunkan kinerja perekonomian dalam
negeri.
Presiden SBY mengatakan
optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 akan mencapai 5,7 persen.
Meski selama Nopember terjadi peningkatan inflasi antara 8 dan 12 persen di
seluruh Indonesia akibat kenaikan harga BBM lebih dari 100 persen.
Dengan adanya
percepatan pertumbuhan ekonomi Presiden berharap kondisi ekonomi makro bisa membaik, sehingga peluang lapangan kerja
meningkat. Jika ternyata meleset dalam perhitungan 2005. Kondisi tersebut
disebabkan harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi. “sebagai
konsekuensinya, kenaikan harga BBM tak dapat lagi dipungkiri dan diikuti dengan
meningkatnya inflasi”
Demikianlah
dinamika kebijaksanaan investasi di Indonesia. Apabila diperhatikan dengan
seksama, terkesan pemerintah berada dipersimpangan jalan yang sulit.
Peraturan-peraturan begitu mudah dan cepat diganti. Dapat dipastikan
kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam bidang penanaman modal masih akan
berluncuran.
Tiga
Neraca Pemerintahan Pusat
Dalam
sistem neraca keuangan pemerintah pusat dikenal tiga macam neraca yaitu neraca
produksi; neraca penerimaan dan pengeluaran; serta neraca modal. Ketiga neraca
disusun oleh Biro Pusat statistik berdasarkan angka-angka realisasi APBN.
Ketiganya berhubungan satu sama lain, beberapa ayat tampil di lebih dari satu
neraca. BPS mempublikasikannya melalui salah satu terbitan mereka di bawah
judul “Neraca Pemerintah Pusat Indonesia” (Dumairy, 1999:169-174).
a.
Neraca Produksi
Neraca produksi
menggambarkan bagaimana proses kegiatan pemerintah dalam menciptakan nilai
tambah PDB sektor pemerintah dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Neraca ini
terdiri atas ayat-ayat biaya (input)
dan ayat-ayat produksi (output).
Biaya-biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam penyediaan jasa mayarakat terdiri
dari belanja barang; belanja pegawai; penyusutan; serta pajak tidak langsung.
Adapun yang dimaksud dengan produksi ialah produksi yang dikonsumsi sendiri;
pendapatan dari hasil penjualan barang-barang yang diproduksi; dan jasa yang
diberikan.
NERACA PRODUKSI PEMERINTAH
PUSAT
BIAYA (INPUT)
|
PRODUKSI (OUTPUT)
|
1.
Belanja Barang
2.
Belanja Pegawai
3.
Penyusutan Barang Modal
4.
Pajak Tak langsung
|
1.
Produksi yang dikonsumsi sendiri
2.
Penerimaan dari
Jasa
3.
Produksi berupa Barang
|
b.
Neraca
Penerimaan dan Pengeluaran
Neraca penerimaan dan pengeluaran
memperlihatkan bagaimana proses kegiatan pemerintah pusat dalam membentuk
tabungannya. Di sini disajikan semua transaksi lancar (current) yang dilakukan oleh pemerintah. Transaksi yang
dimaksud meliputi transaksi antar pemerintah sendiri; pemerintah dengan
swasta; pemerintah dengan badan usaha milik negara; pemerintah dengan rumah
tangga;serta transaksi antara pemerintah dengan pihak luar negeri.
NERACA PENERIMAAN DAN
PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT
PENGELUARAN
|
PENERIMAAN
|
1.
Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
2.
Property Income Dibayarkan
3.
Subsidi-subsidi
4.
Bantuan Sosial
5.
Imputasi Kesejahteraan Pegawai
6.
Transfer-transfer
7.
Tabungan Pemerintah
|
1.
Laba bersih
2.
Property
Income Diterima
3.
Pajak Tak Langsung
4.
Pajak Langsung
5.
Pungutan dan Denda
6.
Imputasi Kesejahteraan Pegawai
7.
Transfer-transfer
|
c.
Neraca Modal
Proses kegiatan
pemerintah dalam membentuk modal (investasi) ditunjukkan oleh neraca modal. Di
dalam neraca ini tergambarkan transaksi pemerintah dengan badan-badan serta
pihak luar negeri. Transaksi yang tercatat di sini hanyalah transaksi-transaksi
yang menyangkut pembentukan modal.
NERACA MODAL PEMERINTAH
PUSAT
PENGELUARAN
|
PENERIMAAN
|
1.
Perubahan Stok
2.
Pembentukan Modal Tetap Bruto
3.
Pembelian Tanah
4.
Pembelian Barang Modal
5.
Transfer Modal
|
1.
Tabungan Bruto
2.
Penyusutan barang Modal
3.
Transfer Modal
4.
Pinjaman Neto
|
Sesungguhnya transaksi keuangan pemerintahan pusat terdiri
atas dua kelompok dasar, yaitu transaksi anggaran (budgetary) dan transaksi bukan anggaran (non budgetary). Transaksi
anggaran maksudnya transaksi penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
terencana dan dibukukan di dalam APBN. Transaksi-transaksi itu ditatausahakan melalui rekening-rekening
Direktorat Jenderal Anggaran, rekening Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, dan
Rekening Bendahara Umum Negara (Departemen Keuangan). Adapun transaksi non
anggaran maksudnya transaksi yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang tidak
tercatat dalam penerimaan dan pengeluaran APBN dan atau tidak ditatausahaan
melalui tiga rekening utama APBN tadi.
Adapun Neraca
Pembayaran Indonesia Tahun 2006 mengalami penurunan, hal ini bisa dilihat dalam
Tabel berikut:
Neraca Pembayaran Indonesia
|
||||||
Nilai (dalam juta dollar AS)
|
Pertumbuhan (% yoy)
|
|||||
2004
|
2005*
|
2006**
|
2004
|
2005*
|
2006**
|
|
Transaksi berjalan
|
3.108
|
2.334
|
1.500
|
|||
Neraca Perdagangan
Ekspor
Migas
Nonmigas
Impor
Migas
Nonmigas
Jasa-jasa
Migas
Nonmigas
|
21.552
72.167
17.684
54.482
-50.615
-11.159
-39.456
-18.444
-5.289
-13.155
|
23.172
86.906
23.161
63.745
-63.734
-16.437
-47.297
-20.838
-7.114
-13.724
|
22.950
95.716
27.510
68.207
-72.766
-17.428
-55.338
-21.450
-6.846
-14.605
|
-12,3
12,6
16,1
11,5
28,0
42,6
24,4
12,1
2,3
16,6
|
7,5
20,4
31,0
17,0
25,9
47,3
19,9
13,0
34,5
4,3
|
-1,0
10,1
18,8
7,0
14,2
6,0
17,0
2,9
-3,8
6,4
|
Neraca Modal
|
2.612
|
3.303
|
164
|
Keterangan:
*: Sementara
**: Sangat Sementara
1/FDI termasuk privatisa si dan restrukturisasi perbankan.
|
||
LLM Publik (Net)
LLM Swasta (Net)
Investas Asing
Langsung 1/ Investasi Portofolio
Lainnya
|
-1.777
4.389
1.023
3.136
231
|
1.221
2.082
2.257
2.401
-2.576
|
-2.790
2.954
4.264
2.098
-3.407
|
Sumber: Bank Indonesia
(Dalam Kompas, Jum’at 16 Des 2005, hal. 17)
Menurut Hartadi,
penurunan surplus transaksi berjalan terjadi
karena pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan dengan
ekspor."Tingginya impor bukan berarti buruk karena sebagian besar berupa
barang modal dan material untuk investasi,”katanya. (dalam Kompas, Jum’at, 16
Desember 2005, hal 17)
Adapun
surplus neraca modal turun terutama
akibat berakhirnya masa penangguhan pembayaran utang (debt moratorium). Artinya, pada tahun 2006 mulai lagi mencicil
pokok dan bunga utang luar negeri sehingga membuat modal keluar. Dengan kondisi
seperti itu, BI memperkirakan lalu lintas modal pemerintah pada tahun 2006 akan
defisit 2,79 miliar dollar AS.
Surplus
neraca modal pada tahun 2006 banyak ditopang oleh investasi asing langsung (foreign direct investmen/FDI) yang
mencatat surplus 4,26 miliar dollar AS dan investasi portofolio sebesar 2,1
miliar dollar AS. “FDI banyak masuk ke Indonesia terkait adanya pembangunan
infrastruktur yang dimulai pada tahun 2006. Sedangkan investasi portofolio
masuk karena selisih suku bunga dalam dan luar negeri cukup menarik” kata
Hartadi.
Akibat
surplus yang tidak terlalu besar, cadangan devisa pada tahun 2006 pun tidak
beranjak jauh dari tahun 2005, yakni 33,9 miliar dollar AS. Jumlah itu masih
dapat menopang kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri sekitar empat
bulan.
Politik
Anggaran Seimbang (Balanced-Budget
Policy)
Sebuah
politik anggaran belanja berimbang dipandang dari sudut tertentu dapat
dinyatakan sebagai sebuah politik pemerintah yang bersifat “netral”. Pemerintah
“mengijeksi” kembali ke dalam arus pendapatan (Income Stream) jumlah (uang) yang sama jumlahnya yang ditarik
olehnya daripadanya (tidak lebih dan tidak kurang). Jadi sebuah budget
berimbang agaknya dapat digunakan, bilamana sudah puas dengan tingkat
pengeluaran total yang berlaku secara kasar, dalam periode full employment, tanpa inflasi. Tetapi jika terjadi resesi
bagaimana?
Dengan
GNP yang berkurang dan tarif pajak yang tidak
berubah jumlah penerimaan pajak pemerintah akan berkurang. Secara
otomatis akan timbul sesuatu defisit, kecuali bilamana dilakukan
tindakan-tindakan korektif untuk mengatasinya.
Guna
menghindari defisit tersebut maka para penganut “balanced budget” menyatakan “naikkan tarif pajak guna mencapai
banyak uang, atau kurangilah pengeluaran agar sesuai dengan penerimaan pajak yang berkurang”. Apabila
percaya bahwa pemerintah perlu berusaha untuk memperluas pengeluaran total guna
mengatasi resesi tersebut maka jelaslah bahwa “resep” balanced budget adalah
salah.
Menurunkan
tarik pajak dan memperbanyak pengeluaran pemerintah akan membantu menaikkan
tingkat pengeluaran total, tetapi politik “balanced
budget” justru mengharuskan dilakukannya tindakan-tindakan sebaliknya dalam
keadaan resesi. Jadi, bilamana sesuatu politik fiskal anggaran berimbang
tahunan agaknya seringkali memberikan resep salah, apakah sebabnya orang
demikian lama baru menemukan kelemahannya?
Agaknya
ada tiga jawaban antara lain :
a. keyakinan bahwa perekonomian bebas akan mengoreksi
sendiri penyimpangan-penympangan dari keadaan “full employment” tanpa intervensi pemerintah;
b.
keyakinan bahwa defisit-defisit budget selalu menimbulkan
keadaan inflasi;
c.
sebuah analogi yang menyatakan bahwa bilaman individu-individu
harus mengimbangkan budget mereka sendiri, maka
pemerintah harus juga melakukan hal yang sama.(Winardi, 1995: 293)
Percampuran
antara politik Moneter dan Politik Fiskal
Guna mencapai hasil
optimal, maka politik moneter dan fiskal harus dikoordinasikan secara efektif.
Bila tidak maka mereka dapat saling mengganggu. Misalnya: pemerintah menurunkan
tarif pajak untuk maksud memperluas permintaan total. Kecuali bilamana
persediaan uang secara simultan turut ditambahkan, maka suku bunga akan meningkat
dan kekuatan ekspansioner penurunan pajak sebagian akan ditiadakan. Apa
sebabnya?
Karena
pinjaman pemerintah akan cenderung menaikkan suku bunga dan sewaktu pendapatan
bertambah, maka permintaan publik akan uang akan bertambah pula yang
mengakibatkan lagi kenaikan suku bunga selanjutnya. Tetapi bilamana pemerintah
menyediakan lebih banyak uang, maka suku bunga dapat “ditekan” dan efek tadi
dapat dihindari.
Oleh karena itu pada
pemerintahan sekarang telah dilakukan kebijakan moneter dan fiskal agar bisa
tercapai tujuan yang optimal sesuai dengan pgrogram yang diharapkan oleh
berbagai pihak.
Kebijakan
moneter ditempuh melalui pengendalian yang yang beredar sejalan dengan sasaran
pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi, suku bunga yang wajar, yang dapat
menggairahkan minat masyarakat untuk
menabung; tetapi juga kondusif untuk investasi, nilai tukar valuta asing
yang realistis dan dinamis, penentuan likuiditas wajib minimum, operasi pasar
terbuka, dan fasilitas diskonto. Di samping itu terus diupayakan kebijaksanaan
kurs devisa yang dapat mendorong ekspor, pengelolaan pinjaman luar negeri agar
tetap dalam batas kemampuan untuk membayar.
Pajak
Terlepas dari tabungan
swasta, maka pajak merupakan suatu metode untuk menarik dana konsumsi dan
menjadikannya tersedia bagi investasi yang produktif. Metode ini menimbulkan perbedaan dalam hal
kebaikan dan keburukannya.
Beberapa
ahli ekonomi menyatakan bahwa kalau pajak dikenakan terhadap masyarakat, maka
ini akan mengurangi konsumsi, karena wajib pajak akan merasa lebih miskin
setelah pendapatannya dikurangi dengan jumlah
pajak yang ia bayar. Dana-dana yang berasal dari pajak dapat
dipinjamkan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk
keperluan investasi seperti halnya di Jepang. Sebaliknya, pemerintah dapat
membiayai investasinya dengan meminjam
dari investor swasta seperti halnya terjadi di negara kapitalis.(Irawan
, 1992: 216)
Tujuan
politik fiskal di negara belum maju antara lain dapat didefinisikan yaitu:
mengumpulkan lewat perpajakan atau tabungan pemerintah, untuk memungkinkan
pemerintah membantu investasi swasta guna mencapai tingkat perkembangan yang
dikehendaki dan menyediakan perangsang-perangsang yang diperlukan agar swasta
berusaha semaksimal mungkin untuk menaikkan produksi dan pembentukan modal.
Misalnya untuk beberapa jenis hasil usaha dibebaskan dari pengenaan pajak yang
tinggi agar mereka yang berusaha dalam bidang itu tidak dilemahkan karena pajak
atau dikenakannya pembebasan pajak (tax holiday) bagi usaha-usaha baru dan
sebagainya.
Dalam
PP No. 41/2005 disebutkan, Pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kendaraan
kategori sedan dengan mesin antara 1.500 cc hingga 2.500 cc naik dari 40 persen menjadi 50 persen, MPV dengan mesin
1.500 cc hingga 2.500 cc naik dari 20 persen menjadi 25 persen. Namun PP ini belum berlaku karena Menkeu belum
menerbitkan keputusan petunjuk pelaksanaan (Kompas, Jum’at, 9 -Des- 2005: 17).
Menurut
Menteri Perindustrian(Fahmi Idris) jika menggunakan argumen bahwa pemerintah
membutuhkan uang lebih banyak, maka menaikkan pungutan menjadi keputusan yang
benar. Namun, pemerintah harus selalu melihat setting yang lebih luas, yakni
untuk pertumbuhan dan perkembangan industri.”pemerintah jangan bersikap sebagai
kasir, dengan hanya mempertimbangkan berapa penerimaan dan berapa pengeluaran.
Kalau cuma itu, dasar pertimbanganya menjadi sangat repot”.
Fahmi
juga mencontohkan jika PPn BM kendaraan kelas 1.500 cc, harus dikaji apakah
sudah tepat untuk mendukung perkembangan industri otomotif nasional. Begitu pula
jika diturunkan, apakah berpengaruh terhadap penerimaan negara dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut
Wakil Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Riswan
Alamsyah (dalam Kompas, Jum’at, 9 Des 2005:17) menegaskan sejak awal tak setuju
kenaikan tersebut alasannya selain tidak jelas juga mengakibatkan pasar
otomotif menjadi tertekan oleh kenaikan harga BBM. Hal ini terbukti dari
penjualan mobil Nopember 2005 yang tidak mencapai target. Sampai akhir tahun
2005 hanya 530.000 unit atau turun dari target 550.000 unit. Bahkan penjualan
pada tahun 2006 diprediksi akan turun menjadi 425.000 hingga 500.000 unit.
Dari
berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah bersama para pengusaha adalah
merupakan tindakan alternatif yang dianggap paling baik yang harus disahkan dan
diimplementasikan sesuai jadwal yang disepakati.
Walaupun
demikian masih dianggap kurang insentif untuk investor asing. hal ini diakui
oleh Menteri Perindustrian saat membandingkan antara Indonesia dan Thailand
dalam memberikan incentif kepada investor otomotif.
Dalam Kompas, Kamis, 8
Desember 2005 (hal 21) terpampang besar di bagian bisnis dan keuangan, yaitu
Selamat Tinggal Kebijakan Fiskal. Pengambilan Keputusan kebijakan terpecah di
Berbagai Lembaga. Jika diibaratkan dengan wajah manusia, suku bunga, nilai
tukar, indeks saham gabungan adalah “air muka” ekonomi. Ketika datang berita
menggembirakan, indeks harga saham akan naik, nilai tukar akan menguat, suku
bunga akan menurun. Keadaan sebaliknya akan terjadi apabila datang
berita-berita yang tidak menyenangkan. Menurut
Bambang Kusumanto Direktur Kebijakan Ekonomi Makro Departemen Keuangan
Ada tiga kondisi
kebijakan fiskal yang dituntut dan
selalu dicermati investor, terutama luar negeri, yang melandasi keputusan
investasi atau meneruskan investasi mereka di Indonesia:
1) Apakah pemerintah bisa mengelola “sustainable fiskal position” yang sehat dan tidak akan bangkrut?
Indikator utamanya defisit fiskal terkendali dan semakin mengecil. Untuk bisa
menjaga kondisi ini disisi penerimaan perlu sistem reformasi perpajakan dan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
yang terus menerus menuju penguatan sumber pendapatan, namun “business friendly” seperti tuntutan
paradigma sekarang.
Pada sisi pengeluaran ,
kebijakan fiskal harus kian efisien dan efektif terhadap pertumbuhan ekonomi,
seperti sesumbar Depkeu dengan asas barunya”anggaran berbasis kinerja”. Sisi
pembiayaan defisit APBN perlu diupayakan melalui cara yang tidak distortif
terhadap pasar uang (crowding out).
Boediono di masa lalu cukup berhasil mengelola kas pemerintah secara hati-hati,
bahkan terkesan terlalu berhati-hati. Namun “prudentiality alone” tidak cukup
memenuhi tuntutan paradigma baru kebijakan fiskal,kini dan mendatang.
2) Kebijakan fiskal dapat mendorong iklim berusaha kondusif
dalam arti memberi kepastian atau mengurangi ketidakpastian berusaha terhadap
resiko bisnis. Wacana saat ini bahkan lebih jauh menuntut kebijakan fiskal pemerintah mau dan mampu ikut menanggung resiko swasta,
terutama dalam sektor bisnis skala besar dan jangka panjang, seperti undangan
pemerintah kepada swasta untuk ikut ber investasi di sektor infrastruktur.
3)
Kondisi kebijakan fiskal ketiga yang dituntut pasar
adalah seberapa jauh kebijakan fiskal dapat memenuhi fungsinya sebagai
instrumen”peningkatan kesejahteraan rakyat”(welfare
policy) melalui penyediaan pendidikan dan kesehatan, serta subsidi untuk
rakyat miskin dan yang terkena musibah, tanpa distorsi dan ketidakadilan dalam
distribusinya.pasal inilah salah satu sandungan yang tak terhindarkan bagi
Jusuf Anwar selaku Menkeu ketika harus memotong subsidi BBM karena meningkatnya
harga minyak mentah.
Walaupun masih setengah
kisruh dalam pelaksanaannya, ketiga kondisi tersebut telah diletakkan secara
samar dalam kinerja awal kabinet SBY sehingga memberikan secercah harapan yang
meningkatkan keyakinan investor. Sehingga antara Januari-Nopember 2005
realisasi PMA dan PMDN masing-masing telah meningkat lebih dari 150 persen dan
70 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. namun, apakah
6,2 persen pertumbuhan ekonomi 2006 akan tercapai seperti yang diyakini Menkeu
yang baru ? semoga dan mudah-mudahan pengambil keputusan dapat mewujudkannya
dalam suatu kesatuan kebijakan fiskal yang konsisten dan efektif.
Mekanisme Keputusan
Tentang
hal terakhir di atas terus terang harapan ke depan kurang menggembirakan.
Alasannya, pengambilan keputusan kebijakan fiskal saat ini terpecah di berbagai
lembaga dan instansi. Tidak saja punya pemahaman yang sangat berbeda tentang
makna kebijakan fiskal, tetapi juga punya sifat dan tujuan kewenangan yang
berbeda.
Otoritas fiskal
1) pada departemen teknis sebagai penyusun dan pengguna
anggaran, yang sering tidak mendasarkan penyusunan kegiatan dan anggarannya
sesuai jiwa, maksud, dan tujuan kebijakan fiskal.
2) Ada pada sidang-sidang komisi DPR yang sering kali lebih
mengedepankan pertimbangan politis, bahkan kadang-kadang”komersial” dalam
penyusunan RAPBN.
3) Terletak pada ratusan pemerintah daerah yang mengelolah
lebih dari 25 persen APBN melalui dana perimbangan, yang masih dalam
tahap”belajar”mengurus anggarannya sendiri sejak era otonomi daerah yang
dinilai agak kebablasan.
Depkeu sebenarnya sekarang bukan lagi
dapat disebut sebagai otoritas fiskal, melainkan tidak lebih dari juru tagih
dan juru bayar keuangan negara. Demikian pula Bapenas, sejak era Abdul Rahman
wahid kehilangan kewenangannya sebagai perencana pembangunan nasional.
Prinsip
perpajakan yang dapat diterapkan di negara belum maju dapat disimpulkan sebagai
berikut:
·
Hendaknya faktor-faktor kelembagaan dan sistem hukum di
negara belum maju ikut merumuskan atau ikut memberi saran bagaimana pajak itu sebaiknya dipergunakan.
·
Pertimbangan-pertimbangan tentang pajak hendaknya
disamping didasarkan pada kekuatan politik juga pada kekuatan-kekuatan sosial,
ekonomi dan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat
·
Saran-saran atau pertimbangan tentang pajak harus sesuai
dengan kapasitas administrasi negara tersebut sehingga pajak dapat dijalankan
dengan baik dan layak. Seringkali pajak langsung lebih baik hasil
pengumpulannya dibanding pajak tidak langsung
·
Besarnya pajak hendaknya dibedakan antara proyek-proyek
yang penting dan yang tidak penting bagi pembangunan, sehingga benar-benar
dapat mendorong pembangunan ekonomi negara. (Irawan, 1990:219)
Berdasarkan hal di atas
maka nampaknya pajak langsung tidak banyak merupakan sumber bagi penerimaan
negara di negara belum maju. Pajak pendapatan yang terdapat di kebanyakan negara maju adalah relatif
tinggi dan mempunyai tingkat yang progresif. Pada umumnya untuk negara yang
sedang berkembang semua ini didasarkan pada pertimbangan politis. Yakni mereka
menghendaki segera adanya kesamaan (equality) dan bukan mendorong
perkembangan yang cepat.
Pajak impor (tarif
impor) dikenakan di samping untuk penerimaan
juga sebagai alat proteksi. Pajak
ini didasarkan pada sifat barang yang diimpor, apakah barang-barang
impor merupakan barang akhir, atau bahan baku bagi industri dalam negeri.
Tanpa diwujudkannya
kebijakan fiskal yang utuh, efisien dan efektif, mustahil ekonomi bisa tumbuh
dan berhasil sesuai harapan. Untuk itu dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal
lebih luas, mencakup pengaturan kembali perundangan tentang mekanisme
pengambilan keputusan.
Sistem
perekonomian pada masa mendatang akan bertumpu pada sistem ekonomi pasar yang
terkendali (guided market economy).
Ciri utama dari sistem ini adalah terdapatnya persaingan dan keterbukaan (transparancy). Dengan sistem semacam
itu, maka peran pemerintah akan lebih bersifat pelayanan dan pengaturan atas
barang-barang masyarakat (publik goods)
serta pembinaannya.pasar yang terkendali
Kalangan
investor asing mengungkapkan kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai
berbagai hal yang selama ini dianggap menghambat investasi di Indonesia. Mereka
terkesan terhadap tidakan pemerintah memberantas korupsi dan berharap bisa
memperbaiki iklim investasi.
Peter
Coleman menilai pertemuan dengan Presiden SBY menunjukkan komitmen yang kuat investor asing untuk terus
melanjutkan bisnisnya di Indonesia (Kompas, Sabtu 10 Des 2005: hal. 17).
Investor ungkap banyak persoalan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah antara lain diungkapkan oleh
Kepala badan koordinasi penanaman modal (BKPM) M. Lutfi yaitu : peraturan
pemerintahan pusat dan daerah, reformasi perpajakan dan kesetaran antara wajib
pajak dan petugas pajak, daya saing, kepabeanan dan manufaktur.
D.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di
atas dapatlah diambil suatu kesimpulan antara lain:
a.
Risiko yang sering
terjadi dan dialami oleh para investor di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu
risiko internal sang investor dalam perusahaan maupun risiko yang berasal dari
dunia luar/lingkungan interes usaha/bisnis
b.
Jika diteliti lebih dalam kebijaksanaan yang dilakukan
pemerintah berada dipersimpangan jalan yang sulit untuk diterka apalagi
dipastikan. Karena banyaknya peraturan yang sering berubah dengan mudah dan
begitu cepat, sehingga dalam memprediksi target mencapai pertumbuhan yang
diharapkan masih perlu banyak sekali pertimbangan yang akan bermunculan.
Utamanya dalam kebijaksanaan perekonomian dan bidang perpajakan.
c.
Ada interaksi yang sangat erat antara struktur APBN, maka penerimaan yang bersumber dari
pajak, baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung adalah merupakan bukti
bahwa risiko rugi/laba dari suatu usaha para investor adalah akibat dari
pengaruh internal dan eksternal yang berdampak pada pembayaran pajak terhadap
pemerintah dapat lancar atau tidak, serta tepat atau tidak berdasarkan
ketentuan yang telah disepakati.
Kestabilan
kinerja perekonomian Indonesia tidak
terlepas dari kebijaksanaan makro baik di bidang ekonomi seperti menggalakkan
ekspor non migas, kemudahan investasi maupun kebijaksanaan non ekonomi seperti
pengembangan sumber daya manusia, pengupahan, deregulasi dan debirokratisasi,
dan lain sebagainya.
2. Saran
· Bagi para investor agar lebih terbuka dalam pelaporan
kepemilikan usaha sehingga bisa dipantau keberadaannya (untuk mempermudah
pemerintah dalam membuat prioritas usahanya masuk dalam Daftar Negatif
Investasi apa tidak). Dan perpanjangan ijin dimungkinkan asalkan usahanya
dinilai bermanfaat, dalam arti berdampak positif bagi ekspor; penciptaan
kesempatan kerja; penerimaan pajak; lingkungan hidup dan perekonomian nasional.
· Agar dapat dicapai
suatu hasil yang optimal diperlukan adanya koordinasi kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal dan jangan sampai terpecahkan
· Pemerintah dalam pengambilan keputusan jangan hanya
dilakukan secara cepat tapi harus mencari peluang yang tepat agar tidak sering
terjadi ketimpangan yang bisa menimbulkan kekecewaan berbagai pihak.
· Lanjutkan kebijakan pemerintah tentang perbaikan kondisi
sumber daya manusia melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan dan
pelatihan karena kualitas SDM dipandang sebagai salah satu faktor kunci dalam era perdagangan bebas. Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi di samping faktor kewiraswastaan (enterpreneurship) yang dipandang sebagai faktor kunci pekerja yang
handal.
· Kebijakan pemerintah yang kurang kondusif dibanding
negara lain agar dirubah. Utamanya bidang perekonomian dan pajak.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Dumairy. (1999) Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta.
Gie KK. (1999) Ekonomi Indonesia
dalam Krisis dan Transisi Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Irawan (1990) Ekonomia Pembangunan, BPFE,
Yogyakarta.
Kansil (2001) Hukum Perusahaan
Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi), Anem Kosong Anem, Jakarta
Kasiyanto. (1989) Masalah dan
Strategi Pembangunan Indonesia, Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara,
Jakarta
Rodoni A. & Yong O.(2001) Analisis Investasi dan Teori Portfolio,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Rosyidi S. (1989) Pengantar Teori
Ekonomi, Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro, Duta Jasa,
Surabaya
Sukirno S. (1999) Pengantar Teori
Makro Ekonomi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Sastraatmadja E. (1992) Ekonomi
Pembangunan (Pengalaman Indonesia), Armico, Bandung
Sunarto (2002) Akuntansi Manajemen, BPFE-UST, Yogyakarta
Tjiptoherijanto P. (1997) Prospek
Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Wahab SA. (1999) Ekonomi Politik
Pembangunan Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah Krisis Moneter,
Danar Wijaya , Malang
Winardi (1995) Pengantar Ilmu Ekonomi,
Tarsito, Bandung
Kompas, Jum’at, 18 Nopember 2005: hal. 1.
Kompas, Rabo, 7 Desember 2005: hal 22
Kompas, Kamis, 8 Desember 2005: hal
15 dan 21
Kompas, Kamis, 9 Desember 2005: hal 17
Kompas, Jum’at, 10 Desember 2005: hal. 17
Kompas, Jum’at, 16 Desember 2005: hal. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar