Kamis, 02 Februari 2006

RISIKO INVESTOR DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP APBN

Jurnal Hukum ARGUMENTUM Vol. 5 No. 1, Desember 2005. 
ISSN: 1412-1751



RISIKO INVESTOR DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP APBN
Oleh: Henny Purwanti*

ABSTRAK
Sebagaimana diketahui resesi ekonomi dunia telah mengakibatkan menurunnya nilai ekspor non migas tahun-tahun terakhir ini. Berbagai langkah kebijaksanaan telah dilaksanakan Pemerintah dalam rangka memperkecil pengaruh resesi ekonomi dunia terhadap perekonomian Indonesia dan khususnya diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dari sumber-sumber di luar minyak, terutama dari penerimaan pajak, sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN). Dalam pelaksanaannya penerimaan pajak langsung sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijaksanaan ekonomi umumnya serta kebijaksanaan pajak  pada khususnya. Sehingga muncul berbagai resiko yang merupakan suatu hal yang tidak diinginkan, tetapi dalam perekonomian selalu berkaitan dengan alternatif kegiatan harus diambil yang paling baik dan dianggap menguntungkan bagi masyarakat, sebagai individu, investor sebagai pelaku bisnis maupun pemerintah sebagai pengatur serta pemegang kekuasaan perekonomian bangsa dan negara.

A.     PENDAHULUAN
Kebijaksanaan ekonomi makro didasarkan pada trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi seiring dengan meningkatnya pemerataan pembangunan dan hasilnya yang semakin meluas dan didukung stabilitas  ekonomi yang sehat dan dinamis (Tjiptoharyanto P, 1997: 2).
Pertumbuhan ekonomi  berarti perkembangan  kegiatan dalam  perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai  masalah makro ekonomi dalam  jangka panjang.
Dalam kebanyakan analisis mengenai penentuan pendapatan nasional pada umumnya dianggap investasi yang dilakukan  para pengusaha adalah berbentuk investasi otonom. Walau bagaimanapun , pengaruh pendapatan nasional kepada investasi tidak  boleh diabaikan. Perlulah disadari bahwa tingkat pendapatan nasional  yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat, selanjutnya akan  memperbesar  permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa. Maka keuntunga perusahaan akan bertambah tinggi  dan ini akan mendorong  dilakukannya banyak investasi. Dengan kata lain, jika pendapatan  nasional bertambah tinggi, maka investasi akan bertambah tinggi pula.
Oleh karena itu dengan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian  menimbulkan dua perubahan penting dalam proses penentuan  keseimbangan pendapatan nasional:
(i)           pungutan pajak yang dilakukan pemerintah akan mengurangi pengeluaran  agregat melalui pengurangan ke atas konsumsi  rumah tangga, sebaliknya
(ii)        pajak memungkinkan  pemerintah melakukan  perbelanjaan dan ini akan menaikkan  perbelanjaan agregat.(Sukirno S, 1994: 131)
Dengan demikian pajak yang diperoleh pemerintah akan digunakan untuk membiayai  berbagai kegiatan pemerintah. Sebagai sumber utama, sebagian dari pengeluaran pemerintah adalah untuk  membiayai administrasi pemerintahan dan sebagian kegiatan pembangunan. Membayar gaji pegawai pemerintah, membiayai sistem pendidikan, dan kesehatan rakyat, membiayai perbelanjaan  untuk angkatan bersenjata,dan berbagai jenis infrastruktur yang penting artinya dalam pembangunan adalah beberapa bidang penting yang akan dibiayai pemerintah. Perbelanjaan tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi negara.
Adapun para pengusaha akan melaksanakan keinginannya untuk menanam modal  apabila tingkat pengembalian modal  dari penanaman modalnya itu, yaitu persentasi  keuntungan neto (tetapi sebelum dikurangi bunga uang yang dibayar) modal yang diperoleh, lebih besar dari tingkat bunga.
Selain itu dari sisi kaca mata para investor, dua aspek penting yang sering diteliti ialah tentang tingkat keuntungan yang diharapkan sebagai sesuatu yang dikehendaki, sedangkan varians atau risiko sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki. Keadaan ini menerangkan hubungan antara kepercayaan dan pilihan untuk portofolio berdasarkan peraturan yang dikemukakan oleh Markowitz yaitu  keuntungan yang diharapkan – varians bagi keuntungan. Satu jenis peraturan tentang pilihan portofolio ialah para investor akan memaksimumkan nilai yang mendapat diskon untuk keuntungan waktu yang akan datang. Walau bagaimanapun waktu yang akan datang tidak dapat dipastikan dengan tepat. Oleh karena itu keuntungan perlu diharapkan (Rodoni A & Yong O, 2001: 38).
Dalam sejarah perkembangan ekonomi dunia menunjukkan bahwa di dalam dua abad belakangan  ini penemuan  dan pembaruan sangat besar peranannya dalam mempercepat proses pembangunan. Pembaruan  dalam semua sektor ekonomi telah mempertinggi produktivitas di berbagai kegiatan di bidang ekonomi. produktivitas yang bertambah tinggi telah memungkinkan pertambahan produksi yang sangat cepat dan memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Sebaliknya dalam masa kemunduran ekonomi, misalnya pendapatan pajak berkurang, tetapi untuk mengatasi  pengangguran  pemerintah perlu melakukan banyak program-program pembangunan , maka pengeluaran pemerintah bertambah, sebaliknya pada waktu inflasi dan tingkat kemakmuran tinggi, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam perbelanjaanya. Harus dijaga agar pengeluaran pemerintah tidak memperburuk keadaan inflasi yang berlaku.
Istilah ekonomi kerakyatan telah lama terdengar, dijaman kabinet BJ Habibie menjadi pembelaan rakyat kecil sebagai kunci untuk merehabilitas kerusakan ekonomi akibat multi krisis yang sedang kita alami. Lebih-lebih dengan adanya Ketetapan MPR No. 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang disebut Ekonomi Kerakyatan. Kenyataan bahwa struktur dunia usaha di Indonesia sangat didominasi oleh perusahaan berskala besar dan raksasa. Pasal 3 dinyatakan:”dihindari terjadinya penumpukan aset dan kekuatan ekonomi pada sekelompok orang atau perusahaan  yang tidak sesuai dengan  prinsip keadilan dan pemerataan”(Kwik Kian Gie, 1999:244). Adakah pengusaha yang sangat pandai, ulet, berani mengambil resiko, tetapi bersih, etis dan tidak melanggar undang-undang? Banyak,biasanya para pengusaha menengah.
Dalam diskursus kebijakan pembangunan sejak dasa warsa 70-an  hingga saat-saat terakhir Soeharto lengser,isu politik strategis yang tak habis-habisnya dibicarakan orang memang menyangkut choice of direction<.i> (pilihan arah) dan hasil riil manuver pembangunan ekonomi.

Dalam retorika politik pembangunan di Indonesia, oleh pemerintah manapun yang pernah berkuasa, kita selalu diingatkan akan pentingnya setiap kebijakan pembangunan ekonomi memperhatikan nilai-nilai yang termuat dalam pasal 33 Undang undang Dasar (UUD) 1945. Ketentuan pasal itulah yang menjadi dasar refleksi adanya tekad politik para pendiri republik ini untuk melindungi kepentingan rakyat. Dan pasal itulah yang  diharapkan dapat menjadi patokan ideologis bagi perumusan kebijakan pembangunan ekonomi. namun, perjalanan  sejarah menunjukkan bahwa sebagai policy in action pasal itu sering diacuhkan, karena  pada dataran implementasi tak pernah dioperasionalisasikan dan tak jelas juntrungannya. Godaan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan segala cara, terbukti bisa saja datang setiap saat. Tidak saja semasa rejim Orde Lama Soekarno, tetapi juga semasa  rejim Orde Baru (Wahab SA, 1999: 87).
Dan bahkan sampai sekarangpun masih bisa dirasakan bahwa godaan untuk memacu pertumbuhan  ekonomi yang telah mengarahkan negara pada pilihan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan segelintir orang-orang super kaya dan konglomerasi bisnis ketimbang pada kepentingan orang miskin dan para pengusaha kecil. Untuk lebih jelasnya bisa dicermati beberapa pendapat dari para penguasa baru di tanah air.
Menurut Menkeu dalam Kompas hari Kamis 8 Desember 2005,  prioritas utama tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2006 adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga memenuhi target APBN 6,2 persen. Dengan inflasi ditekan menjadi 8 persen di akhir tahun 2006.  Dijanjikan perbaikan iklim usaha.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno dalam Kompas hari Rabo, 7 Desember 2005, hal. 17, mengatakan :  untuk menciptakan lapangan kerja, sektor industri harus didukung. ”Caranya , jalankan dulu paket  kebijakan insentif 1 Oktober 2005. Misalnya , perubahan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk komoditas primer pada januari 2006,”. Karena dunia usaha terbebani juga dengan biaya tinggi  akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dan banyak faktor lain yang membuat biaya produksi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Biaya energi listrik, biaya BBM untuk produksi industri dan transportasi, biaya buruh, bunga perbankan, dan pungutan di daerah.
Sungguh tragis memang, kalau keputusan alokasi dan investasi pembangunan - karena alasan-alasan prestise politik - terlanjur terkucur dengan deras ke sektor industri padat modal dan padat teknologi tertentu yang dalam jangka pendek dan menengah belum ketahuan kemampuannya menghasilkan uang, lagi pula rentan terhadap fluktuasi pasar dunia.
Permintaan ekonomi dikendalikan melalui pengembangan kebijaksanaan sektor keuangan, yaitu  keuangan negara, moneter, dan nilai tukar mata uang. Dalam kaitan ini kebijaksanaan keuangan negara dan neraca pembayaran diupayakan tetap seimbang dan saling mendukung dalam rangka pengelolaan permintaan agregat. Kebijaksanaan keuangan negara tetap didasarkan pada anggaran belanja berimbang dan dinamis dalam rangka memelihara dan memantapkan  st`bilitas moneter serta ekonomi pada umumnya. Dalam kaitan itu anggaran pendapatan dan belanja negara tetap diupayakan agar mencerminkan keserasian antara penerimaan dan pengeluaran dengan memungkinkan dibentuknya Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) pada masa penerimaan negara  melebihi dari yang direncanakan.
Di samping itu anggaran pembangunan diupayakan senantiasa meningkat untuk mendukung kegiatan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu peningkatan infrastruktur seperti telepon, listrik, dan fasilitas serta pelayanan pelabuhan dan kemampuan meningkatkan sumber dana bagi pembangunan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, merupakan prasyarat terwujudnya kemampuan bersaing di era perdagangan bebas.

B.     PERMASALAHAN
 Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1.       Resiko apa saja yang dihadapi para investor selaku pelaku bisnis di Indonesia?
2.       Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menghadapi perekonomian bangsa?
3.   Adakah interaksi antara resiko yang dihadapi para investor dalam pelaksanaan kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka pencapaian target APBN?

C.     PEMBAHASAN
Investasi
Program merupakan proses perencanaan jangka panjang yang di dalamnya manajemen merencanakan alokasi sumber daya ekonomi kepada berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang untuk pelaksanaan strategi dalam mencapai tujuan perusahaan.
Pada umumnya investasi membutuhkan  dana yang relatif besar, dan keterikatan  dana tersebut dalam jangka waktu yang relatif panjang, serta mengandung risiko.
Adapun definisi dari investasi adalah pengkaitan sumber dalam jangka panjang untuk menghasilkan laba di masa yang akan datang. Dalam penggantian dan penambahan kapasitas pabrik, dana yang sudah ditanamkan akan terikat dalam jangka waktu yang panjang, sehingga perputaran dana tersebut kembali menjadi uang tunai tidak dapat terjadi dalam waktu pendek, tetapi dalam jangka waktu yang lama. Sekali investasi diputuskan maka perusahaan akan terikat pada jalan panjang di masa yang akan datang yang sudah dipilih, yang tidak mudah untuk disimpangi (Sunarto, 2002, hal. 108).
Keputusan investasi, biaya kesempatan (opportunity cost) memegang peran sangat penting. Biaya kesempatan merupakan pendapatan atau penghematan biaya yang dikorbankan sebagai akibat dipilihnya alternatif tertentu.
Keputusan investasi didasarkan pada aliran kas, maka pajak atas laba merupakan unsur informasi penting untuk ikut dipertimbangkan dalam perhitungan aliran kas untuk pengambilan keputusan investasi. Usulan investasi diperkirakan mengakibatkan penghematan biaya atau tambahan pendapatan, maka disisi lain biaya diferensial atau pendapatan diferensial akan mengakibatkan timbulnya diferensial, yang akan menyebabkan tambahan pajak penghasilan yang akan dibayar perusahaan. Dalam memperhitungkan aliran kas keluar dari investasi, perlu diperhitungkan pula tambahan atau pengurangan pajak yang harus dibayar akibat adanya penghematan biaya atau tambahan pendapatan tersebut.

Kesenjangan Realisasi Investasi
            Masalah yang timbul dalam percaturan investasi swasta di tanah air bukan semata-mata persoalan ketimpangan sektoral dan regional. Akan tetapi juga masalah kesenjangan antara rencana yang disetujui dengan realisasi investasinya. Dalam realisasinya tidak semua rencana investasi yang  sudah disetujui  itu benar-benar  direalisasikan oleh sang investor pemohon.
Banyak faktor bisa dikemukakan untuk menjelaskan sebab-sebab rendahnya tingkat realisasi investasi swasta. Sebagian dari faktor subyektif-internal, artinya berkaitan dengan situasi perekonomian di dalam negeri Indonesia sendiri, termasuk si calon investor. Sebagian lagi bersifat obyektif –eksternal, yakni bertalian dengan konstelasi perekonomian internasional atau dunia pada umumnya. yang bersifat subyektif-internal misalnya adalah gejala ekonomi biaya tinggi (‘) di tanah air, sehingga mengurungkan niat investor untuk merealisasi rencana investasinya.
Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, sebelum diluncurkannya berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, prosedur perijinan penanaman modal di Indonesia sangat tidak efisien. Disamping menelan waktu lama, juga memakan biaya besar. Acapkali calon investor harus mengeluarkan ongkos ekstra yang tidak sedikit akibat semua itu. Kemampuan modal sendirinya kurang memadai bagi investasi yang direncanakan, sehingga struktur modal sendirinya terlalu didominasi oleh dana  pinjaman. Dalam situasi demikian, apabila hasil-balik (returt) yang diharapkan tidak lebih besar daripada biaya modal, ia akan cenderung membatalkan niat investasinya.

Kebijakan Investasi
            Pada awal pemerintahan ordebaru menerbitkan dua undang-undang berkenaan dengan investasi, yaitu Undang-undang No. 1/Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang No. 6/Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pemerintah sengaja lebih dahulu membuat undang-undang tentang modal asing, dengan persyaratan yang amat ringan-mengingat pada saat itu investasi diperlukan sekali untuk membantu memulihkan perekonomian dalam negeri yang porak poranda. Dalam UU No.1/Tahun 1967 ditetapkan antara lain:
·      Penanam modal dibebaskan dari pajak perusahaan selama lima tahun; keringanan pajak perusahaan PMA sebesar lebih dari 50% selama lima tahun; ijin untuk menutup kerugian-kerugian perusahaan sampai periode sesudah tax holiday itu;dan pembebasan penanam modal asing dari bea impor atas mesin serta perlengkapan dan bahan baku.
·       Jaminan tidak akan dinasionalisasikannya perusahaan-perusahaan asing dan kalaupun dinasionalisasikan akan diganti rugi.
·      Masa operasinal PMA adalah 30 tahun dengan perpanjangannya tergantung pada hasil perundingan ulang.
·         Keleluasaan bagi penanam modal asing untuk membawa serta atau memilih personil manajemennya dan untuk menggunakan tenaga ahli asing bagi pekerjaan-pekerjaan yang belum bisa ditangani oleh tenaga-tenaga Indonesia.
·        Kebebasan untuk mentransfer dalam bentuk uang semula (valuta asing) keuntungan dan dana penyusutan  yang diperoleh dari penjualan saham yang disediakan bagi orang-orang Indonesia.
·    Sektor-sektor atau bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu meliputi pekerjaan umum (seperti pelabuhan dan pembangkit tenaga listrik); media massa; pengangkutan (pelayaran dan penerbangan); prasarana; serta segala industri yang berhubungan dengan kegiatan produksi untuk keperluan pertahanan negara.
Undang-undang yang berisi 13 bab dan 31 pasal ini, diundangkan per 10 Januari 1967, kemudian dilengkapi dengan undang-undang No. 11/Tahun 1970. Undang-undang penyempurnaan ini lebih merinci lagi berbagai kelonggaran dalam bidang perpajakan bagi PMA. UU No. 6/Tahun 1968 tentang PMDN berintikan pemberian sejumlah kemudahan dalam bidang perpajakan dan kredit kepada para penanam modal dalam negeri. UU inipun kemudian disempurnakan dengan UU No.12/Tahun 1970.

BKPM dan Peraturan Investasi
Dalam sebuah Keputusan Presidium kabinet No. 17/EK/I/1967 tanggal 19 Januari 1967, pemerintah membentuk lembaga untuk mengatur investasi bernama badan Pertimbangan Penanaman Modal. Namun setahun kemudian, melalui Kepres No. 285/1968 badan tadi digantikan oleh lembaga lain bernama Team Teknis Penanaman Modal. Lima tahun kemudian, dengan Kepres No. 10/1973 tertanggal 26 Mei 1973, organisasi ini diganti menjadi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Pada tahun-tahun awal  menjalankan tugasnya, BKPM banyak dikeluhkan  oleh penanam modal baik asing maupun domistik. Keluhan pada umumnya berkisar masalah terlalu berbelit-belitnya prosedur investasi yang harus ditempuh sehingga membuat mereka menjadi tidak tertarik. Prosedur demikian juga telah menyebabkan suburnya penyalahgunaan wewenang di berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan urusan penanaman modal. Menghadapi situasi demikian, pada tanggal 3 Oktober 1977 pemerintah mengeluarkan keputusan  yang memberikan wewenang penuh dan tunggal kepada BKPM untuk mengurusi penanaman modal.
Pemantapan institusional dalam rangka merangsang penanaman modal diiringi dengan berbagai ketentuan di bidang peraturan dan perundang-undangan. Kebijaksanaan-kebijaksaan investasi pada umumnya berkisar di masalah pengaturan penguasaan saham ; prosedur perijinan; penggunaan tenaga kerja; kaitan dengan upaya peningkatan eksport; keringanan pajak; serta ketentuan mengenai sektor atau bidang usaha yang boleh (masih terbuka) dan tidak boleh (sudah tertutup) untuk dimasuki oleh investasi baru. perihal terakhir, pemerintah mengumumkannya melalui sebuah daftar bernama Daftar Skala Prioritas (DSP, sebutanya dulu) atau Daftar Negatif Investasi (DNI, sebutannya kini).
Pada tahun 1984-1985 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penyederhanaan prosedur perijinan penanaman modal. Untuk tingkat nasional, ketentuan itu digariskan dalam Inpres No. 5/tahun 1984 dan SK Ketua BKPM No. 10/1985.
Daftar Skala Prioritas mulai dirasionalkan pada tahun 1989. Melalui Kepres No. 21 tahun tersebut, jumlah bidang usaha yang dinyatakan sudah jenuh berkurang menjadi hanya 75 macam. Dua tahun kemudian, melalui Kepres No. 23/1991 Daftar Negatif Investasi baru tinggal 60 macam. Penguranga-pengurangan DNI dimaksudkan agar peluang investasi lebih terbuka, agar investor tertarik menanam modal di bidang-bidang yang sebelumnya sudah dinyatakan tertutup.
Saat ini pemerintah siap berbagi risiko dengan investor, yaitu dengan  menetapkan empat kompensasi untuk mempercepat  penyediaan infrastruktur. Keempat kompensasi tersebut merupakan bagian dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 tahun 2005, tertanggal 9 Nopember 2005, tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur yang dipublikasikan di Jakarta, Kamis 17/11/2005.
            Sri Mulyani dalam Kompas Jum’at, 18 Nopember 2005, hal. 1, mengatakan: bentuk kompensasi atau dukungan yang akan diberikan pemerintah dalam mempercepat penyediaan infrastruktur adalah kerja sama investasi, subsidi, garansi, dan penghapusan pajak. Badan Usaha yang berpeluang memperoleh kompensasi itu adalah badan usaha milik negara (BUMN), swasta, badan usaha milik daerah (BUMD), serta koperasi. “Kompensasi pemerintah dilakukan  dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara,”katanya.
Menko perekonomian Boediono mengatakan pentingnya memperbaiki iklim investasi dengan mengambil langkah-langkah reformasi peraturan di berbagai bidang, di pusat maupun daerah. Apa yang menghambat investasi harus diubah de dalam keadaan yang mendorong investasi. (Kompas, Kamis 8 Des-2005, hal 1).
Mengenai enam prioritas yang ditekankan presiden untuk dicapai, yaitu : masalah inflasi dan stabilitas secara umum. Artinya stabilitas makro jangan dilupakan. Meskipun kita tetap ingin tumbuh, tapi tumbuh dalam keadaan seimbang dan stabil ujar Boediono. Dapatkah dicapai prioritas yang ditargetkan ? tunggu nanti jika kurs bisa terpelihara pada tingkat yang cukup baik, juga akan menurunkan harga-harga. Arus barang harus dipelihara, tetapi fiskal dan moneter sama sekali tidak boleh diabaikan kehati-hatiannya. Itu juga kunci,”
Setelah stabilitas dapat dikelola, energi tim ekonomi dicurahkan pada pertumbuhan ekonomi.”Tetapi tanpa mengabaikan keseimbangan makro” ia juga mengakui bahwa penurunan laju inflasi  akan berdampak terhadap suku bunga. Dan perubahan suku bunga akan berdampak pada pembiayaan usaha yang berhubungan langsung dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. karena inflasi adalah masalah makro, maka inflasi akan mengurangi daya beli. Dengan kata lain inflasi merupakan proses pemiskinan yang perlu segera diatasi.
Dalam kaitan ini, Sri Mulyani menyampaikan bahwa “Tahun depan pemerintah tidak bisa ekspansi besar-besaran dan berlebihan, karena berlawanan dengan keinginan menjaga  stabilitas dan membahayakan pertumbuhan ekonomi”
Dari sisi investasi dan ekspor Indonesia masih menghadapi tantangan akibat tingginya suku bunga. Jika investasi sekarang tumbuh 10-11 persen terus melambat, harus diwaspadai dampaknya terhadap pertumbuhan, namun salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2005 adalah konsumsi yang selama ini tumbuh 3,5 – 4 persen. Dengan inflasi 18 persen, tentu konsumsi akan turun secara berarti. Oleh karena itu perlu diadakan pemantauan terhadap daya beli masyarakat.
Aburuzal Bakri mengemukakan beberapa permasalahan ekonomi yang belum tuntas sampai saat ini antara lain
a)       Tingginya tingkat pengangguran belum teratasi karena pertumbuhan ekonomi 5,6 persen belum cukup.
b)     Efektivitas  kebijakan fiskal menjadi titik lemah  dalam pengelolaan kebijakan makro ekonomi, seperti pengalihan anggaran 2005 ke 2006.
c)       Stabilitas makro ekonomi rentan ,
d)       Inflasi yang tinggi pada tahun 2005 dan
e)       Rupiah melemah mencerminkan risiko yang sewaktu-waktu dapat muncul lagi dan mempengaruhi kinerja ekonomi.
f)        Perbaikan iklim ekonomi perlu ditingkatkan (Kompas, Kamis 8 Des 2005,15)
 Dengan melihat berbagai permasalahan yang belum tuntas tersebut ada suatu harapan yang ingin diwujudkan secepatnya yaitu paket insentif bagi dunia industri dapat dilaksanakan pada 1 Januari 2006 sesuai jadwal yang telah disepakati.
            Kemudian Fahmi Idris (Menteri Perindustrian yang baru) menyampaikan bahwa untuk dapat mencapai tujuan tersebut perlu adanya pintu dialog terbuka seluas-luasnya bagi pemangku kepentingan (stakeholder) , semua rencana yang direncanakan pengusaha harus sejalan dengan pemerintah, dan sebaliknya rencana pemerintah sejalan dengan pengusaha.
            Dengan demikian dapat diperkirakan  bahwa pemerintah optimistis ekonomi akan jauh lebih baik, hal ini diungkapkan oleh Sri Mulyani Indrawati dalam bincang-bincang dengan media massa di Jakarta, Selasa 6 Des 2005 (Kompas, Rabo 7 Desember 2005, hal. 22) menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi  triwulan IV tahun 2005 akan tertekan akibat laju inflasi yang sangat tinggi pada bulan Oktober  dan November 2005, secara keseluruhan berada pada 5,5 persen karena cukup beruntung pada kwartal I dan II masih di atas 5,5 persen. Adapun untuk tahun 2006 pertumbuhan ekonomi dapat dicapai jika pertumbuhan  konsumsi masyarakat  bisa dipertahankan  sebesar 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu pemerintah perlu mendatangkan investasi yang mencapai 11 persen hingga 12 persen dari PDB.
Kalau pertumbuhan konsumsi tak mencapai 3,5 persen pertumbuhan ekonomi akan  lebih lemah dari 6,2 persen. Jadi yang perlu diperhatikan adalah menjaga daya beli masyarakat agar tidak turun, salah satunya dengan melanjutkan bantuan langsung tunai. Sementara jika sudah mendapatkan anggaran 11 persen hingga 12 persen akan menyumbang pertumbuhan ekonomi mendekati 6 persen. Akan tetapi masih perlu mewaspadai tingginya inflasi di tahun 2006 sehingga bisa menurunkan kinerja perekonomian dalam negeri.
Presiden SBY mengatakan optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 akan mencapai 5,7 persen. Meski selama Nopember terjadi peningkatan inflasi antara 8 dan 12 persen di seluruh Indonesia akibat kenaikan harga BBM lebih dari 100 persen.
Dengan adanya percepatan pertumbuhan ekonomi Presiden berharap kondisi ekonomi makro  bisa membaik, sehingga peluang lapangan kerja meningkat. Jika ternyata meleset dalam perhitungan 2005. Kondisi tersebut disebabkan harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi. “sebagai konsekuensinya, kenaikan harga BBM tak dapat lagi dipungkiri dan diikuti dengan meningkatnya inflasi”
            Demikianlah dinamika kebijaksanaan investasi di Indonesia. Apabila diperhatikan dengan seksama, terkesan pemerintah berada dipersimpangan jalan yang sulit. Peraturan-peraturan begitu mudah dan cepat diganti. Dapat dipastikan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam bidang penanaman modal masih akan berluncuran.

Tiga Neraca Pemerintahan Pusat
            Dalam sistem neraca keuangan pemerintah pusat dikenal tiga macam neraca yaitu neraca produksi; neraca penerimaan dan pengeluaran; serta neraca modal. Ketiga neraca disusun oleh Biro Pusat statistik berdasarkan angka-angka realisasi APBN. Ketiganya berhubungan satu sama lain, beberapa ayat tampil di lebih dari satu neraca. BPS mempublikasikannya melalui salah satu terbitan mereka di bawah judul “Neraca Pemerintah Pusat Indonesia” (Dumairy, 1999:169-174).

a.       Neraca Produksi
Neraca produksi menggambarkan bagaimana proses kegiatan pemerintah dalam menciptakan nilai tambah PDB sektor pemerintah dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Neraca ini terdiri atas ayat-ayat biaya (input) dan ayat-ayat produksi (output). Biaya-biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam penyediaan jasa mayarakat terdiri dari belanja barang; belanja pegawai; penyusutan; serta pajak tidak langsung. Adapun yang dimaksud dengan produksi ialah produksi yang dikonsumsi sendiri; pendapatan dari hasil penjualan barang-barang yang diproduksi; dan jasa yang diberikan.

NERACA PRODUKSI PEMERINTAH PUSAT
BIAYA (INPUT)
PRODUKSI (OUTPUT)
1.       Belanja Barang
2.       Belanja Pegawai
3.       Penyusutan Barang Modal
4.       Pajak Tak langsung
1.       Produksi yang dikonsumsi sendiri
2.        Penerimaan dari Jasa
3.       Produksi berupa Barang

b.      Neraca Penerimaan dan Pengeluaran
Neraca penerimaan dan pengeluaran memperlihatkan bagaimana proses kegiatan pemerintah pusat dalam membentuk tabungannya. Di sini disajikan semua transaksi lancar (current) yang dilakukan oleh pemerintah. Transaksi yang dimaksud  meliputi transaksi  antar pemerintah sendiri; pemerintah dengan swasta; pemerintah dengan badan usaha milik negara; pemerintah dengan rumah tangga;serta transaksi antara pemerintah dengan pihak luar negeri.

NERACA PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT
PENGELUARAN
PENERIMAAN
1.       Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
2.       Property Income Dibayarkan
3.       Subsidi-subsidi
4.       Bantuan Sosial
5.       Imputasi Kesejahteraan Pegawai
6.       Transfer-transfer
7.       Tabungan Pemerintah

1.       Laba bersih
2.       Property Income Diterima
3.       Pajak Tak Langsung
4.       Pajak Langsung
5.       Pungutan dan Denda
6.       Imputasi Kesejahteraan Pegawai
7.       Transfer-transfer

c.       Neraca Modal
Proses kegiatan pemerintah dalam membentuk modal (investasi) ditunjukkan oleh neraca modal. Di dalam neraca ini tergambarkan transaksi pemerintah dengan badan-badan serta pihak luar negeri. Transaksi yang tercatat di sini hanyalah transaksi-transaksi yang menyangkut pembentukan modal.

NERACA MODAL PEMERINTAH PUSAT
PENGELUARAN
PENERIMAAN
1.       Perubahan Stok
2.       Pembentukan Modal Tetap Bruto
3.       Pembelian Tanah
4.       Pembelian Barang Modal
5.       Transfer Modal
1.       Tabungan Bruto
2.       Penyusutan barang Modal
3.       Transfer Modal
4.       Pinjaman Neto

Sesungguhnya  transaksi keuangan pemerintahan pusat terdiri atas dua kelompok dasar, yaitu transaksi anggaran (budgetary) dan transaksi bukan anggaran (non budgetary). Transaksi  anggaran maksudnya transaksi penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang terencana dan dibukukan di dalam APBN. Transaksi-transaksi  itu ditatausahakan melalui rekening-rekening Direktorat Jenderal Anggaran, rekening Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, dan Rekening Bendahara Umum Negara (Departemen Keuangan). Adapun transaksi non anggaran maksudnya transaksi yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang tidak tercatat dalam penerimaan dan pengeluaran APBN dan atau tidak ditatausahaan melalui tiga rekening utama APBN tadi.
Adapun Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 2006 mengalami penurunan, hal ini bisa dilihat dalam Tabel berikut:

Neraca Pembayaran Indonesia
Nilai (dalam juta dollar AS)
Pertumbuhan (% yoy)

2004
2005*
2006**
2004
2005*
2006**
Transaksi berjalan
3.108
2.334
1.500



Neraca Perdagangan
Ekspor
Migas
Nonmigas
Impor
Migas
Nonmigas
Jasa-jasa
Migas
Nonmigas
21.552
72.167
17.684
54.482
-50.615
-11.159
-39.456
-18.444
-5.289
-13.155
23.172
86.906
23.161
63.745
-63.734
-16.437
-47.297
-20.838
-7.114
-13.724
22.950
95.716
27.510
68.207
-72.766
-17.428
-55.338
-21.450
-6.846
-14.605
-12,3
12,6
16,1
11,5
28,0
42,6
24,4
12,1
2,3
16,6
7,5
20,4
31,0
17,0
25,9
47,3
19,9
13,0
34,5
4,3
-1,0
10,1
18,8
7,0
14,2
6,0
17,0
2,9
-3,8
6,4
Neraca Modal
2.612
3.303
164
Keterangan:
*: Sementara
**: Sangat Sementara
1/FDI termasuk privatisa si dan restrukturisasi perbankan.
LLM Publik (Net)
LLM Swasta (Net)
Investas Asing Langsung 1/ Investasi Portofolio
Lainnya

-1.777
4.389
1.023
3.136
231
1.221
2.082
2.257
2.401
-2.576
-2.790
2.954
4.264
2.098
-3.407
Sumber: Bank Indonesia (Dalam Kompas, Jum’at 16 Des 2005, hal. 17)
           
Menurut Hartadi, penurunan surplus transaksi berjalan terjadi  karena pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor."Tingginya impor bukan berarti buruk karena sebagian besar berupa barang modal dan material untuk investasi,”katanya. (dalam Kompas, Jum’at, 16 Desember 2005, hal 17)
            Adapun surplus neraca modal  turun terutama akibat berakhirnya masa penangguhan pembayaran utang (debt moratorium). Artinya, pada tahun 2006 mulai lagi mencicil pokok dan bunga utang luar negeri sehingga membuat modal keluar. Dengan kondisi seperti itu, BI memperkirakan lalu lintas modal pemerintah pada tahun 2006 akan defisit 2,79 miliar dollar AS.
            Surplus neraca modal pada tahun 2006 banyak ditopang oleh investasi asing langsung (foreign direct investmen/FDI) yang mencatat surplus 4,26 miliar dollar AS dan investasi portofolio sebesar 2,1 miliar dollar AS. “FDI banyak masuk ke Indonesia terkait adanya pembangunan infrastruktur yang dimulai pada tahun 2006. Sedangkan investasi portofolio masuk karena selisih suku bunga dalam dan luar negeri cukup menarik” kata Hartadi.
            Akibat surplus yang tidak terlalu besar, cadangan devisa pada tahun 2006 pun tidak beranjak jauh dari tahun 2005, yakni 33,9 miliar dollar AS. Jumlah itu masih dapat menopang kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri sekitar empat bulan.

Politik Anggaran Seimbang (Balanced-Budget Policy)
            Sebuah politik anggaran belanja berimbang dipandang dari sudut tertentu dapat dinyatakan sebagai sebuah politik pemerintah yang bersifat “netral”. Pemerintah “mengijeksi” kembali ke dalam arus pendapatan (Income Stream) jumlah (uang) yang sama jumlahnya yang ditarik olehnya daripadanya (tidak lebih dan tidak kurang). Jadi sebuah budget berimbang agaknya dapat digunakan, bilamana sudah puas dengan tingkat pengeluaran total yang berlaku secara kasar, dalam periode full employment, tanpa inflasi. Tetapi jika terjadi resesi bagaimana?
            Dengan GNP yang berkurang dan tarif pajak yang tidak  berubah jumlah penerimaan pajak pemerintah akan berkurang. Secara otomatis akan timbul sesuatu defisit, kecuali bilamana dilakukan tindakan-tindakan korektif untuk mengatasinya.
            Guna menghindari defisit tersebut maka para penganut “balanced budget” menyatakan “naikkan tarif pajak guna mencapai banyak uang, atau kurangilah pengeluaran agar sesuai dengan  penerimaan pajak yang berkurang”. Apabila percaya bahwa pemerintah perlu berusaha untuk memperluas pengeluaran total guna mengatasi resesi tersebut maka jelaslah bahwa “resep” balanced budget adalah salah.
            Menurunkan tarik pajak dan memperbanyak pengeluaran pemerintah akan membantu menaikkan tingkat pengeluaran total, tetapi politik “balanced budget” justru mengharuskan dilakukannya tindakan-tindakan sebaliknya dalam keadaan resesi. Jadi, bilamana sesuatu politik fiskal anggaran berimbang tahunan agaknya seringkali memberikan resep salah, apakah sebabnya orang demikian lama baru menemukan kelemahannya?
            Agaknya ada tiga jawaban antara lain :
a.   keyakinan bahwa perekonomian bebas akan mengoreksi sendiri penyimpangan-penympangan dari keadaan “full employment” tanpa intervensi pemerintah;
b.       keyakinan bahwa defisit-defisit budget selalu menimbulkan keadaan inflasi;
c.       sebuah analogi yang menyatakan bahwa bilaman individu-individu harus mengimbangkan budget mereka sendiri, maka  pemerintah harus juga melakukan hal yang sama.(Winardi, 1995: 293)

Percampuran antara politik Moneter dan Politik Fiskal
            Guna mencapai hasil optimal, maka politik moneter dan fiskal harus dikoordinasikan secara efektif. Bila tidak maka mereka dapat saling mengganggu. Misalnya: pemerintah menurunkan tarif pajak untuk maksud memperluas permintaan total. Kecuali bilamana persediaan uang secara simultan turut ditambahkan, maka suku bunga akan meningkat dan kekuatan ekspansioner penurunan pajak sebagian akan ditiadakan. Apa sebabnya?
            Karena pinjaman pemerintah akan cenderung menaikkan suku bunga dan sewaktu pendapatan bertambah, maka permintaan publik akan uang akan bertambah pula yang mengakibatkan lagi kenaikan suku bunga selanjutnya. Tetapi bilamana pemerintah menyediakan lebih banyak uang, maka suku bunga dapat “ditekan” dan efek tadi dapat dihindari.
            Oleh karena itu pada pemerintahan sekarang telah dilakukan kebijakan moneter dan fiskal agar bisa tercapai tujuan yang optimal sesuai dengan pgrogram yang diharapkan oleh berbagai pihak.
            Kebijakan moneter ditempuh melalui pengendalian yang yang beredar sejalan dengan sasaran pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi, suku bunga yang wajar, yang dapat menggairahkan minat masyarakat untuk  menabung; tetapi juga kondusif untuk investasi, nilai tukar valuta asing yang realistis dan dinamis, penentuan likuiditas wajib minimum, operasi pasar terbuka, dan fasilitas diskonto. Di samping itu terus diupayakan kebijaksanaan kurs devisa yang dapat mendorong ekspor, pengelolaan pinjaman luar negeri agar tetap dalam batas kemampuan untuk membayar.

Pajak
            Terlepas dari tabungan swasta, maka pajak merupakan suatu metode untuk menarik dana konsumsi dan menjadikannya tersedia bagi investasi yang produktif.  Metode ini menimbulkan perbedaan dalam hal kebaikan dan keburukannya.
            Beberapa ahli ekonomi menyatakan bahwa kalau pajak dikenakan terhadap masyarakat, maka ini akan mengurangi konsumsi, karena wajib pajak akan merasa lebih miskin setelah pendapatannya dikurangi dengan jumlah  pajak yang ia bayar. Dana-dana yang berasal dari  pajak dapat  dipinjamkan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk keperluan investasi seperti halnya di Jepang. Sebaliknya, pemerintah dapat membiayai investasinya dengan meminjam  dari investor swasta seperti halnya terjadi di negara kapitalis.(Irawan , 1992: 216)
            Tujuan politik fiskal di negara belum maju antara lain dapat didefinisikan yaitu: mengumpulkan lewat perpajakan atau tabungan pemerintah, untuk memungkinkan pemerintah membantu investasi swasta guna mencapai tingkat perkembangan yang dikehendaki dan menyediakan perangsang-perangsang yang diperlukan agar swasta berusaha semaksimal mungkin untuk menaikkan produksi dan pembentukan modal. Misalnya untuk beberapa jenis hasil usaha dibebaskan dari pengenaan pajak yang tinggi agar mereka yang berusaha dalam bidang itu tidak dilemahkan karena pajak atau  dikenakannya pembebasan pajak (tax holiday) bagi usaha-usaha baru dan sebagainya.
            Dalam PP No. 41/2005 disebutkan, Pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kendaraan kategori sedan dengan mesin antara 1.500 cc hingga 2.500 cc naik dari 40  persen menjadi 50 persen, MPV dengan mesin 1.500 cc hingga 2.500 cc naik dari 20 persen menjadi 25 persen. Namun  PP ini belum berlaku karena Menkeu belum menerbitkan keputusan petunjuk pelaksanaan (Kompas, Jum’at, 9 -Des- 2005: 17).
            Menurut Menteri Perindustrian(Fahmi Idris) jika menggunakan argumen bahwa pemerintah membutuhkan uang lebih banyak, maka menaikkan pungutan menjadi keputusan yang benar. Namun, pemerintah harus selalu melihat setting yang lebih luas, yakni untuk pertumbuhan dan perkembangan industri.”pemerintah jangan bersikap sebagai kasir, dengan hanya mempertimbangkan berapa penerimaan dan berapa pengeluaran. Kalau cuma itu, dasar pertimbanganya menjadi sangat repot”.
            Fahmi juga mencontohkan jika PPn BM kendaraan kelas 1.500 cc, harus dikaji apakah sudah tepat untuk mendukung perkembangan industri otomotif nasional. Begitu pula jika diturunkan, apakah berpengaruh terhadap penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
            Menurut Wakil Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Riswan Alamsyah (dalam Kompas, Jum’at, 9 Des 2005:17) menegaskan sejak awal tak setuju kenaikan tersebut alasannya selain tidak jelas juga mengakibatkan pasar otomotif menjadi tertekan oleh kenaikan harga BBM. Hal ini terbukti dari penjualan mobil Nopember 2005 yang tidak mencapai target. Sampai akhir tahun 2005 hanya 530.000 unit atau turun dari target 550.000 unit. Bahkan penjualan pada tahun 2006 diprediksi akan turun menjadi 425.000 hingga 500.000 unit.
            Dari berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah bersama para pengusaha adalah merupakan tindakan alternatif yang dianggap paling baik yang harus disahkan dan diimplementasikan sesuai jadwal yang disepakati.
            Walaupun demikian masih dianggap kurang insentif untuk investor asing. hal ini diakui oleh Menteri Perindustrian saat membandingkan antara Indonesia dan Thailand dalam memberikan incentif kepada investor otomotif.
Dalam Kompas, Kamis, 8 Desember 2005 (hal 21) terpampang besar di bagian bisnis dan keuangan, yaitu Selamat Tinggal Kebijakan Fiskal. Pengambilan Keputusan kebijakan terpecah di Berbagai Lembaga. Jika diibaratkan dengan wajah manusia, suku bunga, nilai tukar, indeks saham gabungan adalah “air muka” ekonomi. Ketika datang berita menggembirakan, indeks harga saham akan naik, nilai tukar akan menguat, suku bunga akan menurun. Keadaan sebaliknya akan terjadi apabila datang berita-berita yang tidak menyenangkan. Menurut  Bambang Kusumanto Direktur Kebijakan Ekonomi Makro Departemen Keuangan
Ada tiga kondisi kebijakan fiskal yang  dituntut dan selalu dicermati investor, terutama luar negeri, yang melandasi keputusan investasi atau meneruskan investasi mereka di Indonesia:
1)    Apakah pemerintah bisa mengelola “sustainable fiskal position” yang sehat dan tidak akan bangkrut? Indikator utamanya defisit fiskal terkendali dan semakin mengecil. Untuk bisa menjaga kondisi ini disisi penerimaan perlu sistem reformasi perpajakan dan penerimaan  negara bukan pajak (PNBP) yang terus menerus menuju penguatan sumber pendapatan, namun “business friendly” seperti tuntutan paradigma sekarang.
Pada sisi pengeluaran , kebijakan fiskal harus kian efisien dan efektif terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti sesumbar Depkeu dengan asas barunya”anggaran berbasis kinerja”. Sisi pembiayaan defisit APBN perlu diupayakan melalui cara yang tidak distortif terhadap pasar uang (crowding out). Boediono di masa lalu cukup berhasil mengelola kas pemerintah secara hati-hati, bahkan terkesan terlalu berhati-hati. Namun “prudentiality alone” tidak cukup memenuhi tuntutan paradigma baru kebijakan fiskal,kini dan mendatang.
2)      Kebijakan fiskal dapat mendorong iklim berusaha kondusif dalam arti memberi kepastian atau mengurangi ketidakpastian berusaha terhadap resiko bisnis. Wacana saat ini bahkan lebih jauh menuntut kebijakan fiskal  pemerintah mau  dan mampu ikut menanggung resiko swasta, terutama dalam sektor bisnis skala besar dan jangka panjang, seperti undangan pemerintah kepada swasta untuk ikut ber investasi di sektor infrastruktur.
3)       Kondisi kebijakan fiskal ketiga yang dituntut pasar adalah seberapa jauh kebijakan fiskal dapat memenuhi fungsinya sebagai instrumen”peningkatan kesejahteraan rakyat”(welfare policy) melalui penyediaan pendidikan dan kesehatan, serta subsidi untuk rakyat miskin dan yang terkena musibah, tanpa distorsi dan ketidakadilan dalam distribusinya.pasal inilah salah satu sandungan yang tak terhindarkan bagi Jusuf Anwar selaku Menkeu ketika harus memotong subsidi BBM karena meningkatnya harga minyak mentah.
Walaupun masih setengah kisruh dalam pelaksanaannya, ketiga kondisi tersebut telah diletakkan secara samar dalam kinerja awal kabinet SBY sehingga memberikan secercah harapan yang meningkatkan keyakinan investor. Sehingga antara Januari-Nopember 2005 realisasi PMA dan PMDN masing-masing telah meningkat lebih dari 150 persen dan 70 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. namun, apakah 6,2 persen pertumbuhan ekonomi 2006 akan tercapai seperti yang diyakini Menkeu yang baru ? semoga dan mudah-mudahan pengambil keputusan dapat mewujudkannya dalam suatu kesatuan kebijakan fiskal yang konsisten dan efektif.

Mekanisme Keputusan
            Tentang hal terakhir di atas terus terang harapan ke depan kurang menggembirakan. Alasannya, pengambilan keputusan kebijakan fiskal saat ini terpecah di berbagai lembaga dan instansi. Tidak saja punya pemahaman yang sangat berbeda tentang makna kebijakan fiskal, tetapi juga punya sifat dan tujuan kewenangan yang berbeda.
Otoritas fiskal
1)    pada departemen teknis sebagai penyusun dan pengguna anggaran, yang sering tidak mendasarkan penyusunan kegiatan dan anggarannya sesuai jiwa, maksud, dan tujuan kebijakan fiskal.
2)    Ada pada sidang-sidang komisi DPR yang sering kali lebih mengedepankan pertimbangan politis, bahkan kadang-kadang”komersial” dalam penyusunan RAPBN.
3)   Terletak pada ratusan pemerintah daerah yang mengelolah lebih dari 25 persen APBN melalui dana perimbangan, yang masih dalam tahap”belajar”mengurus anggarannya sendiri sejak era otonomi daerah yang dinilai agak kebablasan.
Depkeu sebenarnya sekarang bukan lagi dapat disebut sebagai otoritas fiskal, melainkan tidak lebih dari juru tagih dan juru bayar keuangan negara. Demikian pula Bapenas, sejak era Abdul Rahman wahid kehilangan kewenangannya sebagai perencana pembangunan nasional.
            Prinsip perpajakan yang dapat diterapkan di negara belum maju dapat disimpulkan sebagai berikut:
·         Hendaknya faktor-faktor kelembagaan dan sistem hukum di negara belum maju ikut merumuskan atau ikut memberi saran  bagaimana pajak itu sebaiknya dipergunakan.
·         Pertimbangan-pertimbangan tentang pajak hendaknya disamping didasarkan pada kekuatan politik juga pada kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat
·         Saran-saran atau pertimbangan tentang pajak harus sesuai dengan kapasitas administrasi negara tersebut sehingga pajak dapat dijalankan dengan baik dan layak. Seringkali pajak langsung lebih baik hasil pengumpulannya dibanding pajak tidak langsung
·         Besarnya pajak hendaknya dibedakan antara proyek-proyek yang penting dan yang tidak penting bagi pembangunan, sehingga benar-benar dapat mendorong pembangunan ekonomi negara. (Irawan, 1990:219)
Berdasarkan hal di atas maka nampaknya pajak langsung tidak banyak merupakan sumber bagi penerimaan negara di negara belum maju. Pajak pendapatan yang terdapat  di kebanyakan negara maju adalah relatif tinggi dan mempunyai tingkat yang progresif. Pada umumnya untuk negara yang sedang berkembang semua ini didasarkan pada pertimbangan politis. Yakni mereka menghendaki segera adanya kesamaan (equality) dan bukan mendorong perkembangan yang cepat.
Pajak impor (tarif impor) dikenakan di samping untuk penerimaan  juga sebagai alat proteksi. Pajak  ini didasarkan pada sifat barang yang diimpor, apakah barang-barang impor merupakan barang akhir, atau bahan baku bagi industri dalam negeri.
Tanpa diwujudkannya kebijakan fiskal yang utuh, efisien dan efektif, mustahil ekonomi bisa tumbuh dan berhasil sesuai harapan. Untuk itu dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal lebih luas, mencakup pengaturan kembali perundangan tentang mekanisme pengambilan keputusan.
            Sistem perekonomian pada masa mendatang akan bertumpu pada sistem ekonomi pasar yang terkendali (guided market economy). Ciri utama dari sistem ini adalah terdapatnya persaingan dan keterbukaan (transparancy). Dengan sistem semacam itu, maka peran pemerintah akan lebih bersifat pelayanan dan pengaturan atas barang-barang masyarakat (publik goods) serta pembinaannya.pasar yang terkendali
            Kalangan investor asing mengungkapkan kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai berbagai hal yang selama ini dianggap menghambat investasi di Indonesia. Mereka terkesan terhadap tidakan pemerintah memberantas korupsi dan berharap bisa memperbaiki iklim investasi.
            Peter Coleman menilai pertemuan dengan Presiden SBY menunjukkan  komitmen yang kuat investor asing untuk terus melanjutkan bisnisnya di Indonesia (Kompas, Sabtu 10 Des 2005: hal. 17). Investor ungkap banyak persoalan yang perlu diselesaikan oleh  pemerintah antara lain diungkapkan oleh Kepala badan koordinasi penanaman modal (BKPM) M. Lutfi yaitu : peraturan pemerintahan pusat dan daerah, reformasi perpajakan dan kesetaran antara wajib pajak dan petugas pajak, daya saing, kepabeanan dan manufaktur.

D.  PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan antara lain:
a.       Risiko  yang sering terjadi dan dialami oleh para investor di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu risiko internal sang investor dalam perusahaan maupun risiko yang berasal dari dunia luar/lingkungan interes usaha/bisnis
b.       Jika diteliti lebih dalam kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah berada dipersimpangan jalan yang sulit untuk diterka apalagi dipastikan. Karena banyaknya peraturan yang sering berubah dengan mudah dan begitu cepat, sehingga dalam memprediksi target mencapai pertumbuhan yang diharapkan masih perlu banyak sekali pertimbangan yang akan bermunculan. Utamanya dalam kebijaksanaan perekonomian dan bidang perpajakan.
c.       Ada interaksi yang sangat erat antara struktur  APBN, maka penerimaan yang bersumber dari pajak, baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung adalah merupakan bukti bahwa risiko rugi/laba dari suatu usaha para investor adalah akibat dari pengaruh internal dan eksternal yang berdampak pada pembayaran pajak terhadap pemerintah dapat lancar atau tidak, serta tepat atau tidak berdasarkan ketentuan yang telah disepakati.
Kestabilan kinerja perekonomian Indonesia  tidak terlepas dari kebijaksanaan makro baik di bidang ekonomi seperti menggalakkan ekspor non migas, kemudahan investasi maupun kebijaksanaan non ekonomi seperti pengembangan sumber daya manusia, pengupahan, deregulasi dan debirokratisasi, dan lain sebagainya.
2. Saran
·   Bagi para investor agar lebih terbuka dalam pelaporan kepemilikan usaha sehingga bisa dipantau keberadaannya (untuk mempermudah pemerintah dalam membuat prioritas usahanya masuk dalam Daftar Negatif Investasi apa tidak). Dan perpanjangan ijin dimungkinkan asalkan usahanya dinilai bermanfaat, dalam arti berdampak positif bagi ekspor; penciptaan kesempatan kerja; penerimaan pajak; lingkungan hidup dan perekonomian nasional.
·    Agar  dapat dicapai suatu hasil yang optimal diperlukan adanya koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dan jangan sampai terpecahkan
·     Pemerintah dalam pengambilan keputusan jangan hanya dilakukan secara cepat tapi harus mencari peluang yang tepat agar tidak sering terjadi ketimpangan yang bisa menimbulkan kekecewaan berbagai pihak.
·     Lanjutkan kebijakan pemerintah tentang perbaikan kondisi sumber daya manusia melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan dan pelatihan karena kualitas SDM dipandang sebagai salah satu faktor kunci  dalam era perdagangan bebas. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping faktor kewiraswastaan (enterpreneurship) yang dipandang sebagai faktor kunci pekerja yang handal.
·   Kebijakan pemerintah yang kurang kondusif dibanding negara lain agar dirubah. Utamanya bidang perekonomian dan pajak.
-----



DAFTAR PUSTAKA

Dumairy. (1999) Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta.

Gie KK. (1999) Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Irawan (1990) Ekonomia Pembangunan, BPFE, Yogyakarta.

Kansil (2001) Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi), Anem Kosong Anem, Jakarta

Kasiyanto. (1989) Masalah dan Strategi Pembangunan Indonesia, Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta

Rodoni A. & Yong O.(2001)  Analisis Investasi dan Teori Portfolio, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Rosyidi S. (1989) Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro, Duta Jasa, Surabaya

Sukirno S. (1999) Pengantar Teori Makro Ekonomi,  Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sastraatmadja E. (1992) Ekonomi Pembangunan (Pengalaman Indonesia), Armico, Bandung

Sunarto (2002)  Akuntansi Manajemen, BPFE-UST, Yogyakarta

Tjiptoherijanto P. (1997) Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi, Rineka Cipta, Jakarta.

Wahab SA. (1999) Ekonomi Politik Pembangunan Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah Krisis Moneter, Danar Wijaya , Malang

Winardi (1995) Pengantar Ilmu Ekonomi, Tarsito, Bandung

Kompas, Jum’at, 18 Nopember 2005: hal. 1.

Kompas, Rabo, 7 Desember 2005: hal 22
Kompas, Kamis, 8 Desember 2005: hal  15 dan 21

Kompas, Kamis, 9 Desember 2005: hal 17

Kompas, Jum’at, 10 Desember 2005: hal. 17

Kompas, Jum’at, 16 Desember 2005: hal. 17


* Dra. Henny Purwanti,MM. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar